MAKALAH EKONOMI ISLAM
Etos Kerja
(tafsir ayat dan hadits ekonomi)
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrohiim,
Assalamu`alaikum
Wr. Wb.Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas semua nikmat dan
karunia-Nya yang telah memberikan kesabaran, menyingkirkan rasa malas dan
membukakan pikiran dalam menuangkan ide ketika penulisan makalah ini, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Etos Kerja Islam”.
Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Ayat dan Hadis Ekonomi. Dalam penulisan makalah ini penulis memperoleh banyak
bantuan dan masukan sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya. Pada kesempatan ini kami
ucapkan banyak terima kasih kepada Pak Fajar Fandi Atmaja, LC, M.S.I selaku dosen pengampu mata kuliah Tafsir Ayat
dan Hadist Ekonomi yang telah banyak
memberikan bimbingan dan pengarahan
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dalam isi maupun
sistematikanya. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan wawasan kami.
Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya, kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi kami dan umumnya
bagi pembaca.
Yogyakarta, November 2015
Penyusun
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia adalah mahluk sosial, oleh
karenanya manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia membutuhkan manusia lain
sebagai penerus hidup agar keselarasan hidup ini terjaga, apalagi sebagai
seorang muslim, yang seharusnya mempunyai rasa sosial tinggi, karena dalam Al Quran
maupun hadits sosial kepada manusia sangat dikedepankan. Sebagai seorang
manusia yang ingin mendapat ridla dari Tuhannya harus berusaha melakukan
perbuatan-perbuatan yang diridlai oleh Tuhannya. Salah satunya adalah mencintai
sesama muslim. Oleh karena itu sesama muslim adalah saudara. Sifat persaudaraan
kaum mu’min yaitu mereka yang saling menyayangi, mencintai, saling
tolong-menolong dan menumbuhkan sikap peduli sosial.
Namun, jika sesama muslim tidak
saling peduli terhadap sesama dengan kata lain egois, maka orang tersebut tidak
memahami bagaimana arti persaudaraan. Dan sikap seperti itu merupakan sikap
orang kufur dan tidak disukai Allah SWT. Oleh karena itu, sangat penting bagi
kita untuk menumbuhkan sikap peduli sosial dan tolong-menolong terhadap sesama
dalam kehidupan sehari-hari. Agama Islam
pula yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai tuntunan dan
pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi
ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah
yang berkenaan dengan kerja. Rasulullah SAW bersabda: “Bekerjalah untuk duniamu
seakan-akan kamu hidup selamanya,
dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”. Dalam
ungkapan lain dikatakan juga,“Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik
dari pada mukslim yang lemah, Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja”. Nyatanya
kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan
ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi
saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin,
gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami
yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan
as-Sunnah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pada latar belakang yang telah di jelaskan maka dapat dibuat perumusan
masalah sebagai berikut;
a.
Apa Ayat
Al-Qur’an dan Hadist tentang untEtos Kerja?
b.
Apa
pengertian dari Etos Kerja?
c.
Apa Aspek
Pekerjaan Dalam Islam?
d.
Apa
Ciri-ciri Etos Kerja Islami?
e.
Apa Etika Kerja
dalam Islam?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan
penulisan ini adalah untuk:
a.
Untuk mengetahui
ayat al-qur’an dan hadis tentang etos kerja
b.
Untuk mengetahui pengertian Etos Kerja
c.
Untuk
mengetahui aspek pekerjaan dalam Islam
d.
Untuk
mengetahui ciri-ciri etos kerja Islami
e. Untuk mengetahui etika kerja dalam Islam
PEMBAHASAN
A. Ayat Al-Qur’an dan Hadis Tentang Etos Kerja
1.
Dalam surah At- Taubah ayat 105 Allah berfirman :
وَقُلْ اعْمَلوُافَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ
وَالمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّون اِلى عالمِ الغيْبِ والشّهادةِ فَيُنبّئُكُمْ
بِماكُنْتُمْ
تَعْمَلوْنَ
“Dan Katakanlah; “Bekerjalah kamu, maka Allah swt dan
Rasulullah-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. At-Taubah’; 105)
Disisi lain,
Rasulullah saw sangat menekankan kepada seluruh umatnya, agar tidak menjadi
orang yang pemalas dan orang yang suka meminta-minta. Pekerjaan apapun, walau
tampak hina dimata banyak orang, jauh lebih baik dan mulia daripada harta yang
ia peroleh dengan meminta-minta.
Penjelasan
ayat al-Qur’an di atas juga memotivasi manusia agar mencari nafkah memenuhi
kebutuhan hidup haruslah berusaha dengan bekerja dalam lapangan kehidupan yang
ia mampu kerjakan, baik itu berupa bertani, berdagang, bertukang, menjadi
pelayan dan sebagainya. Jangan sekali-kali mencari nafkah dari hasil
meminta-minta sebagai pengemis jalanan. Jadi hadi ini sangat erat hubungannya
dengan hadis pokok bahasan pertama yang menyatakan bahwa usaha terbaik dalam
memenuhi kebutuhan hidup adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri.
2. Dalam Surat Al-Isra’ ayat 70 Allah
berfirman:
وَلَقَدْ كَرَمْنَا بَنِى اَدَم َوَحَمْلنَاهُمْ فىِ
اْلبَرِّ وَاْلبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَلْنَاهُمْ عَلَى
كَثِيْرٍ مِمَنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً
“Dan
sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan
dan di lautan. Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.” (Q.S Al-Isra’ : 70).
Penjelasan ayat al-Qur’an di atas juga memotivasi manusia agar mencari
nafkah memenuhi kebutuhan hidup haruslah berusaha dengan bekerja dalam lapangan
kehidupan yang ia mampu kerjakan, baik itu berupa bertani, berdagang, bertukang,
menjadi pelayan dan sebagainya. Jangan sekali-kali mencari nafkah dari hasil
meminta-minta sebagai pengemis jalanan. Jadi hadi ini sangat erat hubungannya
dengan hadis pokok bahasan pertama yang menyatakan bahwa usaha terbaik dalam
memenuhi kebutuhan hidup adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri.
3.
Hadist tentang
etos kerja Islam
وعن حكيْم بن حزام رضى الله عنهما عن النّبيّ صلّى الله
عليْه وسلّم قال (اليد العليا خير منْ يد السّفلى، وابْدأ بمنْ تعول وخيْر الصّدقة
عنْ ظهر غنى ومنْ يسْتعْففْ يعفّه الله ومنْ يسْتغْن يغْنه الله) متفق عليه ,والفظ
للبخارى
Dari Hakim putra Hizam, ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda; “Tangan
yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, dahulukanlah orang yang
menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-baiknya sedekah itu ialah lebihnya kebutuhan
sendiri. Dan barang siapa memelihara kehormatannya, maka Allah akan
memeliharanya. Dan barang siapa mencukupkan akan dirinya, maka Allah akan beri
kecukupan padanya.” (H.R Bukhari)
1.
Pemberi
lebih baik dari pada penerima, maka dari itu orang dilarang meminta-minta
walaupun itu sangat darurat.
2.
Mulai sedekah dari orang yang ditanggungnya yaitu keluarga yang menjadi
tanggungannya, yang wajib diberikan nafaqah kepadanya. Maka seseorang itu harus
bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
3.
Sebaik-baik
sedekah adalah dari punggungnya orang kaya. Maksudnya dari orang kaya apabila
bersedekah hal itu menunjukkan kesyukurannya.
4. Apabila orang yang beriman dan minta untuk dijadikan
kaya dan dia jugaberusaha sungguh-sungguh maka Allah akan mewujudkan
keinginannya itu.
Di samping itu didalam hadis itu dijelaskan bahwa Allah akan mencukupi
seseorang yang menuntut atau bertekad menjadikan dirinya berkecukupan tidak mau
meminta belas kasihan orang lain. Ungkapan ini dapat dipahami bahwa sangatlah
bijak dan dianjurkan bagi orang kaya atau yang berkecukupan agar memberi kepada
yang miskin dengan pemberian yang dapat menjadi modal usahanya untuk dia dapat
menjadi orang yang mempunyai usaha sehingga pada saatnya nanti ia tidak lagi
menjadi orang yang meminta-minta (mengharap belas kasihan orang).
Perbuatan suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi kebutuhan
hidup, sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi SAW dalam
hadis di atas bahwa Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis)
karena perbuatan tersebut merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal Allah
sendiri sudah memuliakan manusia
Disisi lain, Rasulullah saw sangat
menekankan kepada seluruh umatnya, agar tidak menjadi orang yang pemalas dan
orang yang suka meminta-minta. Pekerjaan apapun, walau tampak hina dimata
banyak orang, jauh lebih baik dan mulia daripada harta yang ia peroleh dengan
meminta-minta. Dalam sebuah riwayat disebutkan;
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْمُؤْمِنُ
اْلقَوِى خَيْرُ وَاَحَبُّ اِلىَ اللهُ مِنَ الْمُؤْمِن اْلضَّعِيْفِ وَفىِ كُلِّ
خَيْرٍ اِحْرِصْ عَلىَ مَا يَنْفَعُكَ وَاَسْتَغْنِ باللهِ وَلاَ تَعْجِرُ وَاَنْ
اَصَابَكَ شَيْئٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ عَنِّى فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنَّ
قُلْ قَدَّرَ الله وَمَاشَاءَ اللهُ فَعُل فَإِنْ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلُ
الشَّيْطَانِ ( اَخْرَجَهُ مُسْلِم )
“ Dari Abu Hurairah r.a berkata,
Rasulullah SAW telah bersabda : Orang mu’min yang memiliki keimanan yang kuat
lebih Allah cintai daripada yang lemah imannya. Bahwa keimanan yang kuat itu
akan menerbitkan kebaikan dalam segala hal. Kejarlah (sukailah) pekerjaan yang
bermanfaat dan mintalah pertolongan kepada Allah. Janganlah lemah berkemauan
untuk bekerja. Jika suatu hal yang jelek yang tidak disenangi menimpa engkau
janganlah engkau ucapkan : Seandainya aku kerjakan begitu, takkan jadi begini,
tetapi katakanlah (pandanglah) sesungguhnya yang demikian itu sudah ketentuan
Allah. Dia berbuat apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya ucapan “seandainya” itu
adalah pembukaan pekerjaan setan.” (Hadis dikeluarkan Muslim).
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Nabi
Muhammad SAW memerintahkan tentang tiga hal, yaitu :
1. menguatkan keimanan
2.
rakuslah
untuk berbuat yang bermanfaat
3.
mohon
pertolongan kepada Allah. Di samping itu beliau melarang berbuat dua hal, yaitu
:
a.
Lemah
b.
menyesali
apa yang telah menimpa diri dari sesuatu yang tidak disukai, sehingga
mengatakan : “ Seandainya aku lakukan begitu, tak akan terjadi begini.”
Dalam hadits dinyatakan:
وَفىِ كُلِّ خَيْرٍ maksudnya Mu’min yang kuat
disini adalah yang giat bekerja tanpa pamrih dan hanya semata-mata untuk
memenuhi kebutuhannya dengan niat karena Allah. Sebab dari iman yang sempurna
(benar dan kuat) akan mendorong seseorang berbuat yang baik, yang sudah tentu
akan berakibat yang baik bagi kehidupannnya. Oleh sebab itu al-Khuli dalam
mensyarahkan hadis ini berpendapat bahwa iman itu menjadi pengawal kebahagiaan
di dunia dan di akhirat, bila diikuti dengan perbuatan baik (amal saleh)
Keimanan yang kuat (istiqamah)
membuat seseorang rajin dan bersungguh-sungguh mencari kebahagiaan, baik itu
untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya keimanan yang lemah,
tidak atau kurang menjadi penggerak terwujudnya perbuatan baik pada diri
seseorang, bahkan hawa nafsu yang menguasai dirinya, sehingga dirinya dengan
mudah untuk berbuat kefasikan, berbuat yang tidak baik. Dengan demikian maka
akan jauhlah kebahagiaan yang diharapkan manusia itu. Oleh sebab itu Rasulullah
SAW menyatakan dalam hadis ini bahwa orang mukmin yang kuat imannya lebih
dicintai oleh Allah daripada yang lemah imannya.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan
etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa
menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui
rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
B. Pengertian
Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan
arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap
ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan
masyarakat. Etos berarti pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Maka
etos terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu
secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja
yang sesempurna mungkin. Etos juga memiliki makna nilai moral adalah suatu
pandangan batin yang bersifat mengartikan harapan sebagai keterpautan hati
kepada yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang.
Kata kerja berarti usaha, amal, dan apa yang harus
dilakukan (diperbuat). Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha
yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual
atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau
keakhiratan.
KH. TotoTasmara mendefinisikan makna “bekerja” bagi
seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan
seluruh aset, pikiran, dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan
arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan
dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah).
Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta
mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah
sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk
menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus
memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus
tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil
dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan
tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada
bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan,
terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat.
Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan
negatif. Di dalam al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya
berjumlah 602 kata, bentuknya :
1)
Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di
antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2)
Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17
kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3)
Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita
temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4)
Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam
surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5)
Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum,
a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah.
Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8,
dan at-Tur: 21.
6)
Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu,
ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab:
31.
7)
Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung
anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu
fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah
berulang-ulang dan sebagainya.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah
muncul secara jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam
pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1)
al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti
penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya
menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2)
al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap
seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3)
al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual
beli seperti pedagang keliling.
4)
al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum
Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW
bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya.
(HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani). Pendapat atau kaidah hukum yang
menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah
tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja
yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
C. Aspek Pekerjaan Dalam Islam
Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hampir
mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik
buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang
amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Dalam al-Qur’an
dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh,
akurat dan sempurna. Maka terdapat beberapa aspek pekerjaan dalam Islam agar
membudayakan etos kerja secara Islami.
Aspek
pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
a.
Memenuhi kebutuhan
sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian
bagi pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya
sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Hal ini diantaranya tercermin
dalah hadist berikut :
Rasullullah memberikan contoh kemandirian
yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan
menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad,
mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat juga memberikan
contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan
sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya.
Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka
akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
b.
Memenuhi
kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajiban bagi seorang muslim,
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru
kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.
c.
Kepentingan
seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang
bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya. Dalam era modern ini banyak sekali
pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat
aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam
harus cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal
jariyah.
d.
Bekerja
sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan,
bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan pernah menikmati
hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud
penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri.
D.
Ciri – Ciri
Etos Kerja Islami
Dan dalam batas-batas tertentu,
ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja tinggi pada umumnya banyak
keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri tersebut antara
lain :
1.
Baik dan
Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau
menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap
pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara
individu maupun kelompok.
2.
Kemantapan
atau perfectness
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan
sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan
yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis.
Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang
optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
3.
Melakukan yang
terbaik atau lebih baik lagi
Kualitas
ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai
berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’
dari yang dapat dilakukan. Dengan makna pertama
ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang
dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk
berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua
ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan
sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring
dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya
lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari
kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat
yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan
orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta
ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
4.
Kerja Keras,
Tekun dan Kreatif
Dalam
banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja
pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan
agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran:
142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan
al-Ankabut: 69).
Mujahadah
dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh
ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam
merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai
mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah
menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’,
yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33).
Bermujahadah
atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban
setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh)
hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
5.
Berkompetisi
dan Tolong-menolong
Al-Qur’an
dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan
persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar”
atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka,
berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108).
Begitu
pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah
lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui
kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan
bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135).
Kita
dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar
berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin:
22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab
yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al
Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan
dalam kualitas kerja.
6.
Objektif
(Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan
dengan shidiq, artinya mempunyai kejujuran dan selalu
melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan nilai-nilai yang
benar dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara realita dilapangan dengan
konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam
bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan,
mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-menerus,
serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu
7.
Disiplin
atau Konsekuen
Selanjutnya sehubungan dengan
ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap moral yaitu disiplin
dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab
terhadap amanah merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum,
dalam konteks ini adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji
adalah bagian dari dasar pentingnya sikap amanah.Janji atau uqud dalam ayat
tersebut mencakup seluruh hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain
dan alam semesta, atau bisa dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab
moral dan sosial manusia. Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan
yang sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas
suatu pekerjaan yang semestinya dipenuhi.
8.
Konsisten
dan Istiqamah
Istiqamah dalam
kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga menghasilkan
sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang
dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu
sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan dan ketidakjujuran
akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga yang istiqamah dalam kebaikan
akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan mendapatkan solusi daris segala
persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada hamba-Nya yang
konsisten/istiqamah.
9.
Percaya diri
dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan
kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka, karena jiwa yang terjajah
akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu
mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki
yang sungguh sangat besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri
sendiri merupakan hal sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha
pekerjaan.
10.
Efisien dan
Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta
dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama Islam membenci harta, adalah
tidak benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan harta atau mencari harta dan
mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak
pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat
dan ‘urf (kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan harta
tersebut, maka sangat dianjurkan untuk berperilaku hemat dan efisien dalam
pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal. Namun sifat hemat di
sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu kikir atau bakhil.
Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan kepada perilaku yang
berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya hemat itu berada di tengah kedua
sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan berdampak negatif dalam kerja dan
kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan sedikit pun, padahal Islam melarang
sesorang untuk berlaku yang tidak bermanfaat.
E.
Etika
Kerja dalam Islam
Dalam
memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan
selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan
kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam
bekerja. Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat
al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang
orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Pandangan
Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya.
Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja
tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan
itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi
rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya
niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan sesuatu. Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat
pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan
sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima
merasa tersakiti hatinya.
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari
apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir.
Keterkaitan
ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama
kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya.
Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek
kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri.
Bukan kaitannya dalam pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta
pengembangan umat manusia.
Perlu
kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut
sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan
barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai
tujuan akhir berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama,
yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh
oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental
sepanjang zaman.
Jika bekerja
menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak
diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan
harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan
seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya.
Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah
kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting tentang
etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1.
Adanya
keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol
dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil
kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat
dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah
dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
2.
Berusaha
dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
KESIMPULAN
Ethos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki
jalan lurus, mengharapkan ridha Allah SWT. Etika kerja dalam Islam yang perlu
diperhatikan adalah (1) Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga
menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja,
berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan
relasinya. (2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
(3) tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja,
semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan
pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba
dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. (5) Professionalisme dalam setiap
pekerjaan.
Daftar Pustaka
Tasmara, Toto.1995. Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: PT. Amanah Bunda Sejahtera
Tasmara, Toto. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani
Al Mudra, Mahyudin. 1992.Kerja Dan Hubungan Kerja Dalam Islam. Yogyakarta:
PT. Mitra Gama Widya
No comments:
Post a Comment