MAKALAH TAFSIR
AYAT DAN HADIST EKONOMI
“Konsumsi”
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala Puji Syukur teruntuk Ilahi Rabbi, shalawat
dan salam semoga senantiasa terlimpah atas Rasulullah SAW. Seluruh keluarga,
kerabat, dan sahabatnya. Aamiin.
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah
SWT. Karena akhirnya kami dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “Konsumsi”
di Prodi Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
sebagai tugas dari mata kuliah “Tafsir Ayat dan Hadist Ekonomi” tepat pada
waktunya. Pada kesempatan ini kami ucapkan banyak terima kasih kepada Pak Fajar
Fandi Atmaja, LC, M.S.I selaku dosen
pengampu mata kuliah Tafsir Ayat dan Hadist Ekonomi yang telah banyak memberikan bimbingan dan
pengarahan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami
mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami.
Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya. Dan kmai berharap makalah yang sederhana ini
bermanfaat, terutama bagi yang membutuhkannya.
Akhirnya, semoga
Allah meridhoi kegiatan penyusunan makalah
ini dan memberikan manfaat bagi kita semua yang membacanya.
Yogyakarta, Oktober 2015
Pemakalah
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................................... 1
Daftar Isi................................................................................................................................ 2
Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................................... 3
A. Latar Belakang .................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
C. Tujuan ................................................................................................................. 4
Bab II Pembahasan ............................................................................................................... 5
A. Ayat tentang konsumsi ....................................................................................... 5
B. Pengertian konsumsi ........................................................................................... 9
C. Etika dalam Konsumsi Islam .............................................................................. 10
D. Tujuan Konsumsi Islam ..............
...................................................................... 10
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Seseorang ..................... 11
F. Ajaran Konsumsi Islam ....................................................................................... 12
Bab III Penutup .................................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 15
B. Saran ................................................................................................................... 15
Daftar Pustaka ...................................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aktivitas
ekonomi yang paling utama adalah konsumsi. Setelah adanya konsumsi dan konsumen
baru ada kegiatan lainnya seperti produksi/produsen, distribusi/ditributor dan
lain-lain. Konsumsi dalam ekonomi Islam adalah Upaya memenuhi kebutuhan baik
jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya
sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di
dunia dan akhirat (falah). Dalam melakukan konsumsi maka prilaku
konsumen terutama Muslim selalu dan harus di dasarkan pada Syariah Islam.
Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe pengeluaran
yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe pertama dan
pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran tipe pertama adalah pengeluaran yang
dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga
(pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun memiliki efek pada
pahala diakhirat). Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran yang dikeluarkan
semata – mata bermotif mencari akhirat.
Konsumsi
adalah kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang dianggap paling penting.
Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi, konsumsi, distribusi,
seringkali muncul pertanyaan manakah yang paling penting dan paling dahulu
antara mereka. Jawaban atas pertanyaan itu jelas tidak mudah, sebab memang
ketiganya merupakan mata rantai yang terkait satu dengan yang lainnya, lebih
jelasnya akan dibahas dalam isi makalah
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka yang menjadi
rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah :
1. Sebutkan ayat yang membahas tentang konsumsi ?
2. Apa pengertian konsumsi ?
3. Bagaimana Etika dalam Konsumsi
Islam ?
4. Apa tujuan konsumsi Islam ?
5. Apa saja faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang ?
6. Bagaimana ajaran konsumsi Islam?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Agar pembaca mengetahui tentang ayat yang membahas tentang konsumsi.
2. Agar pembaca mengetahui pengertian
dari konsumsi.
3. Agar pembaca mengetahui etika dalam konsumsi Islam.
4. Agar pembaca mengetahui tujuan konsumsi Islam.
5. Agar pembaca mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi
seseorang.
6. Agar pembaca mengetahui tentang ajaran konsumsi Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ayat tentang Konsumsi
1. Q. S An-Nisa ayat 29
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْلاَتَأْكُلُواْأَمْوَالَكُمْبَيْنَكُمْبِالْبَاطِلِإِلاَّأَنتَكُونَتِجَارَةًعَنتَرَاضٍمِّنكُمْوَلاَتَقْتُلُواْأَنفُسَكُمْإِنَّاللّهَكَانَبِكُمْرَحِيماً
﴿٢٩﴾
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2. Tafsir
Mufradat
ü يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
yang diseru adalah orang-orang
beriman karena yang mau sadar, mau tunduk, mau berubah, mau ikut aturan itu
adalah orang beriman. Kalau kita mengaku beriman, tatapi kita masih ragu
tentang kebenaran sistem perekonomian Islam, seperti kita masih ragu keharamannya
transaksi dengan riba dan bank konvensional, maka keimanan kita perlu
dipertanyakan. Karena itulah Allah memanggil orang yang beriman secara tegas,
agar mereka sadar untuk mau tunduk.
ü لَا تَأْكُلُوا
Kita dilarang oleh Allah, padahal
larangan itu menunjukkan haram kecuali ada dalil, sedang untuk ayat ini tidak
ada dalil lain. Jadi haram
hukumnya mendapatkan harta dengan cara yang tidak dibolehkan syara`.
ü أَمْوَالَكُ
(harta kalian). Hal ini menunjukkan
bahwa pada dasarnya harta adalah adalah milik umum, kemudian Allah memberikan
hak legal kepada pribadi untuk memiliki dan menguasainya, tetapi dalam satu
waktu Islam menekannya kewajiban membantu orang lain yang membutuhkan. Perlu
diketahui, bahwa kalaupun harta itu sudah menjadi milik pribadi tapi bukan
berarti kita diperbolehkan untuk menggunakannya kalau digunakan dalam hal yang
tidak dibenarkan syariat, maka harta itu juga tidak boleh digunakan. Apalagi
kalau kita mendapatkan harta tersebut dari orang lain dengan cara batil: tidak
sesuai aturan syara`.
ü إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
ini adalah dzikrul juz lilkul.
Artinya menyebut sebagian untuk seluruhnya, karena umumnya harta itu didapatkan
dengan transaksi jual beli (perdagangan) yang didalamnya terjadi transaksi
timbal balik. Selama transaksi tersebut dilakukan sesuai aturan syar`I, maka
hukumnya halal. Tentu transaksi jual beli ini, tidaklah satu-satu cara yang
halal untuk mendapatkan harta, disana ada hibah, warisan dll.
ü عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
(kalian saling ridha): Jual beli itu harus dilandasi dengan
keikhlasan dan keridloan. Artinya tidak boleh ada kedhaliman, penipuan,
pemaksaan dan hal-hal lain yang merugikan kedua pihak. Oleh karena itu, pembeli
berhak mengembalikan barang yang dibeli ketika mendapati barangnya tidak sesuai
dengan yang diinginkan.
ü وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُ
(jangan saling membunuh), apa
hubungannya dengan bisnis? Sangat berhubungan. Dalam bisnis sering terjadi
permusuhan. Kata ulama makna ayat ini adalah “jangan saling membunuh”. Adapun
makna dhahirnya “jangan bunuh diri”. Keduanya bisa diterima, karena bisa saja
orang berbisnis, bangkrut, stress, lalu bunuh diri.
ü إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
(sesungguhnya Allah itu Maha Kasih
sayang kepada kalian), di antaranya dengan memberikan penjelasan kepada manusia
tentang sistem transaksi harta, agar manusia bisa hidup berdampingan, jauh dari
permusuhan apalagi sampai bunuh-bunuhan hanya karena persaingan dagang.
3.
Kandungan isi
Ayat
ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi
perdagangan, bisnis jual beli. Sebelumnya telah diterangkan transaksi muamalah
yang berhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya.
Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan,
menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan
jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh
melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan
asas saling ridha, saling ikhlas. Dan dalam ayat ini Allah juga melarang untuk
bunuh diri, baik membunuh diri sendiri maupun saling membunuh. Dan Allah
menerangkan semua ini, sebagai wujud dari kasih sayang-Nya, karena Allah itu
Maha Kasih Sayang kepada kita. Ayat ini melarang mengambil harta orang lain
dengan jalan batil (tidak, benar), kecuali dengan perniagaan yang berlaku atas
dasar kerelaan bersama.
4.
Q. S. Al-Baqarah ayat 168-169
يَاأَيُّهَاالنَّاسُكُلُواْمِمَّافِيالأَرْضِحَلاَلاًطَيِّباًوَلاَتَتَّبِعُواْخُطُوَاتِالشَّيْطَانِإِنَّهُلَكُمْعَدُوٌّمُّبِينٌ
﴿١٦٨﴾
إِنَّمَايَأْمُرُكُمْبِالسُّوءِوَالْفَحْشَاءوَأَنتَقُولُواْعَلَىاللّهِمَالاَتَعْلَمُونَ
﴿١٦٩﴾
168Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.
169.
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
5. Penjelasan Ayat dan Hadist
Ibnu Abbas mengatakan
bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani
Amir bin Sa’sa’ah, Khuza’ah dan Bani Mudid. Mereka mengharamkan menurut kamauan
mereka sendiri, memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina
yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah
telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu
betina lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada
berhala. Padahal Allah tidak mengaharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan
telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakannya dalam firman-Nya, yang
artinya:
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, dan (hewan yang mati) tercekik, yang dipukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
sembelih, dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharam juga) mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah suatu kefasikan.
(QS. Al-Maidah ayat 174).
Karena itu selain dari
yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan wasilah itu
tidak tersebut di dalam ayat ini. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa
disamping yang tersebut dalam ayat ini, ada lagi yang diharamkan memakannya
berdasarkan hadis Rasulullah SAW seperti memakan binatang yang bertaring tajam
atau bercakar kuat, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa memakan
binatang-binatang tersebut hanya makruh saja hukumnya.
Allah menyuruh manusia
memakan yang baik sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang
ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal
dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan
beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 Surat
Al-Ma’idah dan dalam ayat 173 surat kedua ini.
Adapun selain dari yang
diharamkan Allah itu dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan
pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya
mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka
tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka pusakai dari nenek moyang mereka
dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan seta belaka. Janganlah kaum muslimin mengikuti
langkah-langkah setan itu, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi
manusia.
(169) Setan selalu
menyuruh manusia supaya melakukan kejahatan dan mengerjakan yang keji dan yang
mungkar. Setan tidak rela dan tidak senang bila melihat seseorang beriman
kepada Allah dan mentaati segala perintah dan peraturan Nya dan dia tidak
segan-segan menyuruh membikin peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang
bertentangan dengan hukum Allah sehingga dengan demikian aka kacau-balaulah
peraturan agama dan tidak dapat diketahui lagi mana yang peraturan agama mana
yang tidak.
6. Kandungan ayat
a. Allah menyuruh manusia memakan makanan
yang halal lagi baik.
b. Manusia dilarang mengikuti ajaran setan
karena setan itu hanya mengajak kepada perbuatan yang keji dan jahat.
c. Pengikut-pengikut setan tidak mau
mengikuti ajaran Allah, karena mereka bertaklid buta saja kepada apa yang
mereka warisi dari nenek moyang mereka walaupun nenek moyangnya tidak
mengetahui apa-apa.
d. Orang kafir itu seolah-olah tuli, bisu,
dan buta, tidak mau menerima kebenaran dan ajaran Allah. Mereka adalah seperti
hewan yang mengikuti saja kemauan pengemblanya tanpa mengerti dan memikirkan
maksud pengembalanya itu.[1]
B.
Pengertian Konsumsi
Menurut bahasa konsumsi berasal dari bahasa Belanda,
consumptie yang berarti suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau
menghabiskan daya guna suatu benda, barang maupun jasa
dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Menurut kamus besar Indonesia, konsumsi yaitu pemakaian
barang-barang hasil industry, bahan makanan dan sebagainya,
Menurut Umar Burhan, konsumsi yakni nilai guna suatu barang adalah yang dapat memberikan kepuasan disebututility.
Tentu saja nilai guna barang yang satu tidak selalu sama dengan nilai guna
barang yang lain. Nilai guna juga bisa berbeda karena waktu atau tempat yang
berbeda.
Sir John R. Hicks menjelaskan
tentang konsumsi dengan menggunakan parameter kepuasan melalui konsep kepuasan (utility) yang tergambar
dalam kurva indifference (tingkat kepuasan yang
sama). Hicks mengungkapkan bahwa individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya
melalui aktifitas konsumsi pada tingkat kepuasan yang maksimal menggunakan
tingkat pendapatannya (income sebagai budget
constraint).
Secara
umum, konsumsi merupakan kegiatan manusia dalam penggunaan barang dan jasa
untuk mengurangi atau menghabiskan daya guna atau manfaat suatu barang dan jasa
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
Oleh karena itu, keberadaan tingkat pendapatan seseorang cukup
menentukan terhadap pola konsumsinya. Pendapatan yang tinggi memungkinkan tingginya konsumsi.
Namun, hubungan antara pendapatan dan konsumsi tidak
selalu sama untuk semua barang dan jasa. Konsumsi dapat
berubah-ubah sesuai kondisi pendapatan. Perubahan pendapatan
konsumen pada umumnya berakibat pada perubahan jumlah barang yang diminta, terutama pada jenis barang “normal” atau “superior”.
Sebaliknya pendapatan konsumen yang berkurang, mendorong
berkurangnya konsumsi kedua jenis barang tersebut.
pendapatan disesuaikan agar tingkat kepuasan konsumen tetap. Efek substitusi
bernilai negatif, karena perubahan harga dan kuantitas selalu berhubungan
terbalik. Jika harga suatu barang tinggi, maka konsumsinya akan berkurang.
Sebaliknya jika harga rendah maka konsumsinya akan bertambah.
C.
Etika dalam Konsumsi Islam
Konsumsi berlebih – lebihan, yang
merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam
dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur –
hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti menggunakan barang dengan cara yang
salah, yakni, untuk menuju tujuan – tujuan yang terlarang seperti penyuapan,
hal – hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Pemborosan
berarti penggunaan harta secara berlebih – lebihan untuk hal – hal yang
melanggar hukumdalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, atau bahkan
sedekah. Ajaran – ajaran Islam menganjurkan pada konsumsidan penggunaan harta
secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan
pemborosan. Konsumsi diatas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap lisraf
dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam
adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai – nilai dan kebiasaan – kebiasaan
masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung
dan memperkuat tujuan – tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas
Islam ini juga memiliki daya aplikatif terhadap kasus orang yang terlibat dalam
pemborosan atau tabzil. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya
dikenai pembatasan – pembatasan dan, bila dianggap perlu,dilepaskan dan
dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syari’ah
dia seharusnya diperlukan sebagai orang yang tidak mampu dan orang lain
seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanyaselaku wakilnya.
D.
TUJUAN KONSUMSI ISLAM
Nilai ekonomi tertinggi dalam Islam adalah falah
atau kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat yang meliputi material,
spritual, individual dan sosial. Kesejahteraan itu menurut Al Ghazali
adalah mashlaha (kebaikan). Karena itu, falah adalah manfaat
yang diperoleh dalam memenuhi kebutuhan ditambah dengan berkah (falah
= manfaat + berkah). Jadi yang menjadi tujuan dari ekonomi Islam adalah
tercapainya atau didapatkannya falah oleh setiap individu dalam suatu
masyarakat. Ini artinya dalam suatu masyarakat seharusnya tidak ada seorangpun
yang hidupnya dalam keadaan miskin.
Dalam
upaya mencapai atau mendapatkan falah tersebut, manusia menghadapi
banyak permasalahan. Permasalahan yang dihadapi untuk mendapatkan atau upaya mencapai
falah menjadi masalah dasar dalam ekonomi Islam. Mendapatkan falah
dapat dilakukan melalui konsumsi, produksi dan distribusi berdasarkan syariat
Islam. Hal itu berarti bahwa setiap aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi,
produksi dan distribusi harus selalu mengacu pada fiqih Islam, mana yang boleh,
mana yang diharamkan dan mana yang dihalalkan. Eksistensi keimanan dalam
prilaku ekonomi Islam manusia menjadi titik krusial termasuk dalam konsumsi,
produksi maupun distribusi.
E.
Faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang.
1. Tingkat
Pendapatan
Pendapatan
merupakan suatu balas jasa dari seseorang atas tenaga atau pikiran yang telah
disumbangkan, biasanya berupa upah atau gaji. Makin tinggi pendapatan seseorang
makin tinggi pula daya belinya dan semakin beraneka ragam kebutuhan yang harus
dipenuhi, dan sebaliknya.
2. Tingkat
Pendidikan
Makin
tinggi pendidikan seseorang makin tinggi pula kebutuhan yang ingin dipenuhinya.
Contohnya seorang sarjana lebih membutuhkan computer dibandingkan seseorang
lulusan sekolah dasar.
3. Tingkat
Kebutuhan
Kebutuhan
setiap orang berbbeda-beda. Seseorang yang tinggal di kota daya belinya akan
lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tinggal di desa.
4. Kebiasaan
Masyarakat
Di
zaman yang serba modern muncul kecenderungan konsumerisme didalam masyarakat.
Penerapan pola hidup ekonomis yaitu dengan membeli barang dan jasa yang
benar-benar dibutuhkan, maka secara tidak langsung telah meningkatkan
kesejahteraan hidup.
5. Harga Barang
Jika
harga barang naik maka daya beli konsumen cenderung menurun sedangkan jika
harga barang dan jasa turun maka daya beli konsumen akan naik. Hal ini sesuai
dengan hokum permintaan.
6. Metode
Barang-barang
yang baru menjadi mode dalam masyarakat biasanya akan laku keras di pasar
sehingga konsumsi bertambah. Dengan demikian mode dapat mempengaruhi konsumsi.
Manusia senantiasa berusaha untuk memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan
mencapai tingkat kemakmuran dengan memenuhi berbagai macam kebutuhannya. Usaha
itu dilakukan dengan mengkonsumsi barang dan jasa yang dibutuhkan.
F.
Ajaran konsumsi dalam islam
Kebalikan dari
adanya kewajiban makan makanan halal dan baik adalah larangan untuk memakan
makanan yang haram. Sesuatu itu diharamkan karna adanya unsure keburukan
kemudharatan. Beberapa makanan yang haram terdapat dalam firman Allah yang
berbunyi,
“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah”
Selain itu, minuman keras juga diharamkan seperti firman Allah
“ Hai orang-orang beriman , sesunguhnya minum-minuman keras, brjudi,
berkurban untuk berhala, megundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji.
Sebab itu hendaklah kamu tinggalkan supaya kamu beruntung “. Dalam salah satu
hadist, Rasulullah pernah bersabda ,
“ Ada lima binatang yang haram ( tidak boleh ) dibunuh ( untuk tujuan
konsumsi ). Jika setiap darinya dibunuh oleh seseorang( untuk dikonsumsi
dagingnya ), maka ia termasuk orang fasik. Binatang yng dimaksud adalah burung
gagak, burung rajawali, ular, landak, dan juga semua binatang yang suka
menggigigit ( seperti anjing ) “.
Setiap larangan yang dikeluarkan oleh Allah dan Rasulullah mempunyai hikmahnya.
Oleh karena itu kita berkewajiban untuk mengikutinya karena hal ini termasuk
bukti keimanan kita kepada Allah dan Rasulullah.
Tetapi haram dalam pandangan islam bisa menjadi halal jika dalam keadaan
terpakasa , Haram dalam pandangan islam mempunyai cirri menyeluruh. Akan tetapi
islam tidak lupa tergadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia
dalam menghadapi kepentingan itu. Sehingga seorang muslim dalam keadaan memaksa
diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga
diri dari kebinasaan, seperti firman Allah “ Barang siapa dalam keadaan
terpaksa ( mmakannya ) sedang ia tidak menginginkan dan tidak ( pula ) melampui
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesunggunya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.
Menurut
M.Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, keadaan terpaksa adalah keadaan yang
diduga dapat mengakibatkan kematian, sedangkan keadaan yang idak
menginginkannya adalah tidak memakannya dalam kadar yang melebihi kebutuhan
menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa demikian ditentukan oleh
allah karena seungguhnya Allah maha pngampun lagi maha penyayang.
Sedangkan
Al Faqih Al Hanbali Ibnu Qudamah berpendapat bahwa sesuai dengan ijma’ ulama,
diperbolehkan seseorang makan sesuatu yang haram sekedar untuk menutupi
kehidupannya yang sulit dan hanya sekedar untuk menyelamtkan diri dari
kematian. Inilah salah satu bukti dari kasih saying Allah kepada hamba-Nya dan
merupakan keringanan dalam menjalankan agama karena islam tidak akan membebani
hamba-Nya lewat dari kemampuannya dan meupakan salah satu kemudahan yang di
berikan Allah. Contohnya jika kita berada di suatu daerah yang benar-benar
tidak ada makanan kecuali yang haram, maka kita harus maka makanan itu daripada
kita tidak memakannya yang akan mengakibatkan kondisi kritis atau kematian
kepada kita.
Terdapat empat prinsip utama dalam sistem konsumsi Islam yang diisyaratkan
dalam al Qur’an yakni:
1.
Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain
from wasteful and luxurius living), yang bermakna bahwa, tindakan
ekonomi diperuntukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup(needs)
bukan pemuasan keinginan (wants).
2.
Implementasi zakat (implementation
of zakat) dan mekanismenya pada tataran negara merupakan obligatory
zakat system bukan voluntary zakat system. Selain
zakat terdapat pula instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary)
yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah.
3.
Penghapusan Riba (prohibition
of riba); menjadikan system bagi hasil (profit-loss sharing) dengan
instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (credit
system) termasuk bunga (interest rate).
4.
Menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible
conduct), jauh dari maisir dan gharar; meliputi bahan baku, proses
produksi, manajemen, out put produksi hingga proses distribusi dan konsumsi
harus dalam kerangka halal.
Namun
pada tingkatan praktis, prilaku ekonomi (economic behavior) sangat
ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang
yang kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi dan produksi di pasar. Dengan demikian dapat disimpulkan tiga
karakteristik perilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.
- Ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.
- Ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang bersifat individualistis.
- Ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan rasionalisme.
Demikian pula dalam konsumsi, Islam memposisikan sebagai bagian dari
aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju falah
(kebahagiaan dunia dan akherat). Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya
adalah mashlahah
(public
interest or general human good) atas
kebutuhan dan kewajiban.
Sementara itu Yusuf Qardhawi
menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, di antaranya; konsumsi
atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak
bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Dengan
demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktifitas ekonomi manusia yang
bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka
mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akherat (falah),
baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya
maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya. Sedangkan pada perspektif
konvensional, aktifitas konsumsi sangat erat kaitannya dengan maksimalisasi
kepuasan (utility).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keseimbangan
konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada prinsip keadilan distribusi. Jika
tuan A mengalokasikan pendapatannya setahun hanya untuk kebutuhan materi, dia
tidak berlaku adil karena ada pos yang belum dibelanjakan, yaitu konsumsi
sosial. Jika demikian, sesungguhnya dia hanya bertindak untuk jalannya
diakhirat nanti. Q.S An-Nisa ayat 29 Ayat ini melarang mengambil harta orang
lain dengan jalan batil (tidak, benar), kecuali dengan perniagaan yang berlaku
atas dasar kerelaan bersama.
Dalam tulisan ini, sekiranya dapat diambil
pelajaran bahwa setelah kita sebagai pelaku ekonomi mengoptimalkan seluruh
sumber daya yang ada di sekitar kita. Sebagai media untuk kehidupan di dunia ini,
lalu kita diarahkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan kepada saudara kita, kaum
miskin, kaum kerabat dengan cara yang baik tanpa kikir dan boros.
B.
Saran
Dengan disusunnya
makalah ini, maka pembaca atau mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang konsumsi
dalam tafsir ayat Al-Qur’an.
Semoga makalah ini
dapat diterima dan dimengerti serta berguna bagi pembaca atau mahasiswa, dalam
makalah ini kami mohon maaf jika ada tulisan kami atau bahasa kami kurang
berkenan, dengan demikian kami mengharapkan kritik dan saran atas tulisan kami
agar bisa membangun dan memotivasi kami agar membuat tulisan jauh lebih baik
lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Chamid,
Nur. 2010. Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Feriyanto,
Nur. 2014. Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Indonesia.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Indonesia,
Universitas Islam. 1999. Al Qur’an dan
Tafsirnya Jilid I Juz 1-2-3. Yogyakarta
: PT. Verisia Yogya Grafika.
Soeratno.
2003. Ekonomi Mikro Pengantar Edisi 2. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi YKPN Yogyakarta.
[1] Universitas Islam Indonesia, Al
Qur’an dan Tafsirnya Jilid I Juz 1-2-3, (Yogyakarta : PT. Verisia Yogya
Grafika), hal 282-285
No comments:
Post a Comment