Pages

esok pasti ada tapi esok belum pasti

Monday, February 20, 2017

MAKALAH EKONOMI ISLAM tafsir ayat dan hadits "DISTRIBUSI"




MAKALAH EKONOMI ISLAM
tafsir ayat dan hadits
 "DISTRIBUSI"
  

 BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Distribusi merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteraan. Dampak dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan politik. Oleh karena itu Islam memberi perhatian lebih terhadap distribusi pendapatan dalam masyarakat. Maka Islam memperhatikan berbagai sisi dari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya, misalnya dalam jual beli, utang piutang, dan sebagainya.
Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tergantung bukan pada sektor produksi saja tetapi juga pada pembagiannya yang sesuai (distribusi). Kekayaan dapat diproduksi di suatu negara dalam jumlah yang besar tetapi jika pendistribusiannya tidak didasarkan atas prinsip-prinsip nya yang benar dan adil, maka negara tersebut tidak akan dapat mencapai kemakmuran.
Islam mengambil jalan tengah yang mampu membantu dalam menegakkan suatu sistem yang wajar dan adil. Islam tidak memberikan kebebesan mutlak maupun hak yang tidak terbatas dalam pemilikan kekayaan pribadi bagi individu dalam lapangan produksi, dan tidak pula mengikat individu pada sebuah sistem pemerataan ekonomi yang di bawah sistem ini ia tidak dapat memperoleh dan memiliki kekayaan secara bebas. Prinsip yang menjadi pedoman dari sistem ini adalah bahwa harus ada lebih banyak produksi dan distribusi kekayaan agar sirkulasi kekayaan meningkat yang mungkin dapat membawa pada pembagian yang adil di antara berbagai kelompok komunitas, serta tidak memusatkannya pada sebagian kecil orang saja. Kitab Suci al-Quran telah menjelaskan kaidah Islam yang sangat berharga di dalam surat Al-Israa’ ayat 29-30, Al-Hasyr ayat 7, dan dalam surat-surat lainnya.

B.                 Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian distribusi dalam Islam?
2)      Apakah tafsir dan kandungan dari surat Al-Israa’ ayat 29-30?
3)      Apakah tafsir dan kandungan dari surat Al-Hasyr ayat 7?
4)      Bagaimana dalil-dalil Islam menjelaskan tentang distribusi dalam Islam?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Distribusi
Pengertian distribusi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat; pembagian barang keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat) oleh pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk, dsb. Sedangkan distribusi menurut para ahli ekonomi adalah merupakan proses penyaluran hasil produksi berupa barang dan jasa dari produsen ke konsumen guna memenuhi kebutuhan manusia, baik primer maupun sekunder.

B.     Surat Al-Israa’ (17) : 29-30
a.      Teks dan Terjemahannya
(29)وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
(30). إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚإِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
29.  Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
30. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
                                                                                                                

b.      Makna Global
Secara umum, ayat ini mengingatkan manusia dalam hal ini orang-orang mukmin supaya dalam hal distribusi barang-barang ekonomi dan keuangan, termasuk infak tidak boleh terlalu kikir dan tidak pula berlaku boros. Maknanya, distribusi itu dilakukan secara sedang dan berimbang.

c.       Tafsir Ayat
Yaitu jangan berlaku pelit dengan apa (rezeki) yang telah Allah berikan kepada kamu yang tersebab kepelitanmu itu mengakibatkan hak-hak orang lain menjadi terampas. Larangan pelit ini oleh Al Quran disimbolkan dengan perilaku orang pelit seolah-olah ia tidak merasa puas dengan cuma menggenggamkan jari-jemari tangannya untuk tidak mau memberikan sesuatu itu, sampai-sampai ia angkat kedua tangannya dan lalu ia letakkan (dibelenggukan) di atas lehernya.
Allah berfirman seraya memerintahkan untuk berlaku sederhana dalam menjalani hidup dan mencela sifat kikir sekaligus melarang bersikap berlebih-lebihan. Sebagai seorang muslim dilarang  kikir dan bakhil, tidak pernah memberikan sesuatu pun kepada seseorang. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Tangan Allah itu terbelenggu. Yang mereka maksudkan dengan kalimat itu adalah bahwa Allah itu kikir. Maha Tinggi Allah dan Maha Suci serta Maha Pemurah lagi Maha Dermawan.
Pada saat yang bersamaan, Allah juga melarang kamu mengulurkan/membentangkan tanganmu dengan bentangan yang tanpa batas. Maksudnya dilarang berlaku terlalu loyal atau boros dalam hal distribusi, sehingga ia sendiri, keluarga dan/atau para pihak yang berhak lainnya mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak-haknya. Sebab, sikap terlalu pelit dan terlalu boros dalam mendistribusikan ekonomi dan keuangan itu sama tidak baiknya. Bagaimanapun, perilaku pelit maupun boros, itu pada gilirannya menyebabkan pelakunya menjadi orang yang tercela atau dicela, serta bagaimanapun pada akhirnya ia akan menyesali perbuatannya tersebut.
Janganlah terlalu berlebihan dalam berinfak, di mana seseorang memberi di luar kemampuannya dan mengeluarkan pengeluaran yang lebih banyak daripada pemasukan. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Artinya, jika kamu kikir, niscaya kamu akan menjadi tercela yang senantiasa mendapat celaan dan hinaan dari orang-orang serta tidak akan di hargai dan mereka tidak memerlukanmu lagi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zubair bin Abi Salma dalam mu’allaqatnya:
“Barangsiapa yang mempunyai banyak harta lalu ia kikir dengan kekayaannya itu, niscaya ia akan diabaikan kaumnya, dan mendapat hinaan.”
Bila kamu mengulurkan tanganmu di luar kemampuanmu, maka kamu akan hidup tanpa sesuatu apapun yang dapat kamu nafkahkan, sehingga kamu menjadi seperti hasir, yaitu binatang yang sudah tidak mampu berjalan yang berhenti lemah dan tiada daya. Demikianlah yang dinamakan hasir. Ayat di atas ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, Qatadah, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid dan lain-lain, bahwa yang dimaksudkan di sini adalah sifat kikir dan sifat berlebih-lebihan.
Dan dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakar, ia bercerita, Rasulullah bersabda:
“Berinfaklah, kamu begini, begini dan begini, dan janganlah kamu kikir sehingga Allah pun akan kikir kepadamu, serta janganlah pula kamu enggan memberi orang sehingga Allah pun akan menahan pemberian kepadamu. [Dan janganlah kamu menghitung-hitung pemberian sehingga Allah pun akan menghitung-hitung (pemberian) kepadamu.”
Dalam kitab shahib mulim disebutkan dari Abu Hurairah ia bercerita Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah pernah berkata kepadaku,”Berinfaklah, maka Aku akan memberi infak kepadamu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sesungguhnya Rabb-mu akan memudahkan/melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki; dan Dia tentukan kadar-banyaknya; karena sesungguhnya Allah itu adalah sangat mengetahui lagi Maha Melihat segala tidak tanduk hamba-Nya.
Maksudnya, sesungguhnya Allah akan meluaskan dan melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki, dalam rangka menguji coba orang itu apakah ia bersyukur atau malahan menjadi kufur? Allah jugalah yang menentukan dalam arti membatasi bahkan menyempitkan rezeki seorang dalam konteks pengujuan apakah ia akan bersabar atau bahkan ia keluh-kesah dan malahan merasa tidak suka/puas dengan itu. Mengingat manusia itu sebagian ada yang tidak berlaku patut, kecuali dengan keluasan rezekinya, sementara sebagian yang lain ada juga yang tidak dapat berbuat maslahat, kecuali dengan kesempitan rezekinya. 

d.      Istinbat Ayat
Dari kedua ayat di atas, dapatlah dipahami bahwa dalam mendistribusikan ekonomi dan/atau keuangan, seseorang dilarang berlaku kikir dan dilarang bila berlaku terlalu boros. Sikap yang terbaik dalam hal distribusi ekonomi dan keuangan adalah memelihara asas keseimbangan dan kecukupan. Allah lah yang akan melapangkan atau menyempitkan rezeki seseorang, keluarga, masyarakat, atau bangsa dan negara sekalipun; karena Allah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.

C.    Surat Al Hasyr (59) : 7
a.      Teks dan Terjemahannya

(7) مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚوَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚوَاتَّقُوا اللَّهَ ۖإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

b.      Makna Global
Meskipun ayat di atas berbicara tentang fai (semacam pajak kepala dalam kehidupan sekarang), namun di antara isinya yang ditekankan adalah justru perilah pemerataan distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya tidak selalu dan semuanya beredar pada segelintir orang-orang kaya. Asas pemerataan ekonomi dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam Al-Quran dianjurkan supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani Al-Quran. Pada saat yang bersamaan, ayat ini juga sekaligus mengingatkan umat dan masyarakat supaya menjauhi aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh Rasulullah.

c.       Sabab al-Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukan bahwa surat al-Anfaal turun di waktu terjadi peperangan Badar (Ramadhan 2H/624M), sementara surat al-Hasyr diturunkan pada waktu peperangan bani Nadhir (4H/625M). Kaum yahudi bani Nadhir adalah penduduk yang dahulu di zaman Nabi Muhammad bertempat tinggal dan berkebun kurma di luar kota Madinah. Karena pengkhianatan mereka kepada Rasulullah, maka Rasul pun mengepung mereka dan mengusirnya seraya Rasul membolehkan mereka membawa harta kekayaannya sejauh yang mereka mampu mengangkutnya dengan binatang-binatang mereka, dengan catatan mereka tidak diperbolehkan membawa senjata. Mereka pun kemudian pergi sampai ke Syam (Syria). Allah menurunkan ayat 1 sampai 5 surat al-Hasyr yang pada intinya adalah membenarkan tindakan Rasulullah itu termasuk tindakannya untuk mengambil alih sisa-sisa harta yang ditinggalkan mereka (kaum bani Nadhir).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah sampai di tempat kaum bani Nadhir, mereka bersembunyi di dalam benteng. Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya menebang pohon-pohon kurma untuk kemudian membakarnya (sampai berasap tebal) yang menyebabkan bani Nadhir tidak mampu lagi bertahan di dalam benteng. Mereka lalu berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad sambil mengatakan: “Hai Muhammad! Kamu telah melarang orang merusak bumi, dan mencela orang yang berbuat kerusakan (di muka bumi), namun mengapa kamu sendiri justru menebangi pohon-pohon kurma dan lalu membakarnya?” Terkait teriakan mereka itu, maka turunlah ayat 9 dari surat al-Hasyr.

d.      Tafsir Ayat
Firman Allah ini menjelaskan tentang makna fa’i sifat dan hikmahnya. Fa’i adalah segala harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Seperti harta benda bani an-Nadhir ini, dimana kaum muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda maupun unta, artinya mereka dalam hal ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang atau menyerbu mereka, tetapi para musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah Allah timpakan ke dalam hati mereka karena wibawa Rasulullah. Kemudian Allah memberikan harta benda yang telah mereka tinggalkan untuk Rasul-Nya. Oleh karena itu, beliau mengatur pembagian harta benda yang diperoleh dari Bani an-Nadhir sekehendak hati beliau, dengan mengembalikannya kepada kaum muslimin untuk dibelanjakan dalam segala sisi kebaikan dan kemaslahatan yang telah disebutkan oleh Allah dalam ayat-ayat ini.
Harta kekayaan dalam bentuk apapun yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari ahli qura (penduduk Khaibar, Fadak dan ‘Arinah), itu untuk Allah, untuk Rasulullah, untuk Dzawil Qurba (kerabat dekat), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Menurut ayat ini, al-fai (diluar kasus bani Nadhir), itu dibagi ke dalam lima bagian dengan ketentuan: 1/5 daripadanya didistribusikan untuk lima kelompok, yaitu untuk Allah dan Rasulullah yang digunakan untuk kebutuhan hidup beliau selama hayatnya, dan kemudian didayagunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin sepeninggalnya; untuk keluarga dekat Nabi Muhammad, dalam hal ini Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib; untuk kepentingan anak-anak yatim; untuk orang-orang miskin; dan untuk ibnu sabil (anak-anak jalanan yang terlantar). Sementara yang 4/5 bagian selebihnya, adalah khusus untuk Nabi, yang 4/5 bagian ini telah beliau bagi-bagikan selama hidupnya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang saja yang nyata-nyata fakir.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar memberitahu kami dari az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar, ia berkata: “Harta Bani an-Nadhir termasuk yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya, dengan tidak ada usaha terlebih dahulu dari kaum muslimin untuk mengerahkan kuda dan untanya. Oleh karena itu, harta rampasan itu hanya khusus untuk Rasulullah, beliau nafkahkan untuk keluarganya sebagai nafkah untuk satu tahun. Dan sisanya beliau manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di jalan-Nya.”
Telah diadikan pihak-pihak yang memperoleh bagian harta fa’i ini agar tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, lalu mereka pergunakan sesuai kehendak dan hawa nafsu mereka, serta tidak mendermakan harta tersebut kepada fakir miskin sedikitpun.
Ketentuan hukum yang membagi-bagikan harta fai ke dalam beberapa kelompok sosial itu, di antara tujuan utamanya ialah untuk memeratakan peredaran harta kekayaan (ekonomi dan keuangan) supaya tidak selalu atau selamanya bergulir dan bergilir pada segelintir tangan orang-orang kaya saja diantara mereka. Disinilah pula terletak kelebihan esensial teori ekonomi profetik (kenabian) yang sangat mementingkan asas pemerataan disamping prinsip keadilan dan terutama keberkahan. Usaha memeratakan peredaran ekonomi sebagaimana yang mudah disaksikan maupun terutama dirasakan memang yang paling sulit, betapa banyak ketimpangan sosial ekonomi dan keuangan di tengah-tengah masyarakat ini.
Kebijakan Allah dan Rasul-Nya yang memberikan harta fai hanya kepada kaum Muhajirin yang pada umumnya miskin, dan tidak kepada kaum Anshar yang kebanyakan sudah kaya atau bahkan kaya-raya, kecuali kepada satu atau dua orang yang benar-benar fakir. Jadi asas pemerataan ekonomi dan keuangan model Rasulullah itu jelas dan tegas. Lebih didasarkan atas pertimbangan (keberpihakan) kefakiran dan kemiskinan masyarakat, bukan karena pertimbangan etnik dalam hal ini keperpihakan Nabi kepada kaum Muhajirin dan pengabaian kaum Anshar. Namun alasan apa pun yang disampaikan Nabi ketika itu apalagi di zaman sekarang ini, tampaknya akan tetap terus dan terus tetap menuai kecemburuan pihak yang tidak mendapatkan dana fai maupun dana sosial lainnya. Hal yang maklum karena al-mal (harta), sesuai dengan makna dasarnya, selalu memikat semua dan setiap orang tanpa peduli apakah ia itu fakir miskin ataukah kaya raya. Kebijakan sapu jagat yang seringkali diambil oleh pemangku kebijakan, seringkali mengabaikan asas pemerataan dan keadilan ini, meskipun pada saat yang bersamaan, kebijakan sapu jagat  itu seolah-olah berasas pemerataan. Ambil contoh pembebasan biaya pendidikan yang tidak lagi memandang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin atau antara yang mampu dan tidak mampu, semuanya dibebaskan dari biaya sekolah.
Disini tampak Al-Quran memberikan tuntunan kepada orang-orang beriman untuk bersikap tulus tanpa embel-embel apapun dalam menerima dan mengamalkan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Termasuk penetapan hukum tentang pembagian harta fai yang secara lahiriah seolah-olah tidak adil itu lantaran hanya diperuntukkan kaum Muhajirin dan tidak untuk kaum Anshar kebanyakan. Padahal, kaum Anshar demikian besar pengorbanannya kepada penduduk asal Muhajirin. Namun, hukum fai yang pembagiannya seperti demikian itu, bukanlah berdasarkan kepada etnik karena Muhajirin atau disebabkan Anshar, melainkan lebih kepada pertimbangan perwujudan keseimbangan dan pemerataan kehidupan sosial ekonomi yang harus ditempuh dengan cara memberikan bagian lebih kepada kaum fakir miskin yang kebetulan kala itu didominasi oleh kaum Muhajirin yang sewaktu hijrah ke Madinah memang tidak mungkin membawa harta kekayaan yang mereka miliki di Mekah. Sehingga apa pun yang beliau perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Karena beliau hanyalah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang keburukan.
Dan dalam kitab ash-Shahihain juga telah ditegaskan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
“Jika aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Dan apa yang aku larang, maka jauhilah.”
Imam an-Nasi’i meriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, bahwa keduanya telah menyaksikan Rasulullah melarang penggunaan dubba’ (sejenis labu), hantam (guji hijau), naqir (batang kurma yang dilubangi), dan muzaffat (tempurung yang dilumuri tir). Setelah itu Rasulullah membaca ayat. “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
Hendaknya kita semua bertakwa kepada Allah dalam hal menerima ketetepan hukum-hukum-Nya dan dalam menjalankan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya, karena sesungguhnya Allah itu sangat dahsyat hukuman-Nya mana kala hukum-hukumnya dilanggar oleh manusia.




e.       Istinbat Ayat
Dari ayat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)      Harta fa’i itu pada dasarnya dan dalam kenyataannya diproyeksikan untuk kemaslahatan umum seperti yang dipraktikkan melalui kebijakan dan kebajikan Rasulullah, kemudian untuk masyarakat miskin tertentu dalam hal ini keluarga Nabi sendiri (khusus Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
2)      Tujuan utama dari pembagian harta fai (ke dalam lima bagian) yang dilakukan secara profesional, proporsional, dan prosedural itu, semata-mata untuk mencegah kemungkinan peredaran harta kekayaan yang selalu dan selamanya berada di dalam genggaman segelintir orang-orang kaya.
3)      Semua dan setiap hukum yang dilakukan Rasulullah, wajib diikuti oleh umatnya. Sebaliknya, setiap hukum yang dilarang oleh Rasulullah, wajib dijauhi oleh umatnya.
4)      Mengikuti hukum Rasulullah itu merupakan bagian dari perintah ketakwaan kepada Allah, melanggarnya tergolong ke dalam perbuatan dosa yang akan disiksa oleh Allah.


 D.    Kegiatan Distribusi dalam Islam

Dalam perekonomian modern saat ini, menurut Ali Sakti (2008) tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sektor distribusi merupakan sektor yang terpenting dalam aktivitas perekonomian. Pelaku distribusi kini telah menjadi pelaku ekonomi dominan di samping konsumen dan produsen. Karena itu, menjadi penting melihat posisi sektor ini dalam mekanisme perekonomian menggunakan perspektif Islam, simak firman Allah dalam surat Huud ayat 35. 
“Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Fungsi distribusi dalam aktivitas ekonomi pada hakikatnya mempertemukan kepentingan konsumen dan produsen dengan tujuan kemaslahatan umat. Aktivitas usaha distribusi ini kemudian dituntut untuk dapat memenuhi hak dan kewajiban yang diinginkan syariah bagi konsumen dan produsen. Distribusi menempati posisi penting dalam teori ekonomi mikro, baik dalam sistem ekonomi Islam maupun kapitalis, karena tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka, tetapi juga aspek sosial dan politik.
Pada saat ini kenyataan yang tampak adalah telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan, baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang, yang mempergunakan sistem kapitalis sebagai sistem ekonomi negaranya, sehingga menciptakan kemiskinan dimana-mana.
Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi: sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Kebebesan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang dibingkai nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakan bebas bertindak tanpa campur tangan pihak manapun, serta keseimbangan antara unsur materi dan spiritual, keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta antara suatu masyarakat dan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam Al Quran agar harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan, seperti yang diterangkan dalam surat Al Hasyr ayat 7.
Sistem ekonomi Islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya, baik yang kaya maupun miskin, dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah pada penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang dicela. Al-Quran menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian rezkinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan jalan zakat, shadaqah, hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus tersebar dengan baik.
Konsep Islam menjamin sebuah distribusi yang memuat nilai-nilai insani, karena dalam konsep Islam distribusi meliputi beberapa hal:
1.                  Kedudukan manusia yang berbeda antara satu dengan yang lain merupakan kehendak Allah. Perbedaan ini merupakan bagian upaya manusaia untuk bisa memahami nikmat Allah, sekaligus memahami kedudukannya dengan sesamanya. Allah berfirman dalam surat Al An’aam ayat 165.”Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Serta dalam surat An Nahl ayat 71. “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu.”
Manusia tidak bisa menentukan dirinya untuk berkedudukan lebih tinggi atau rendah, karena semua itu telah ditentukan Allah. Dalam surat Faathir ayat 2, Allah berfiman. “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
2.                  Pemilikan harta pada hanya beberapa orang dalam suatu masyarakat akan menimbulkan ketidakseimbangan hidup dan preseden buruk bagi kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Huud ayat 116. “Dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.”
3.                  Pemerintah dan masyarakat mempunyai peran penting untuk mendistribusikan kekayaan kepada masyarakat. Allah dalam surat adz-Dzaariyaat ayat 19 berfirman. “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Dan dalam surat al-Baqarah ayat 219 Allah berfirman. “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” 
Dalam surat Az-Zukhruf ayat 32 juga dijelaskan. “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
4.                  Islam menganjurkan untuk membagikan harta lewat zakat, sedekah, infaq dan lainnya guna menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial. Surat al-Hasyir ayat 7. “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.” Dan Surat ath-Thalaaq ayat 7 Allah berfirman. “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.”





















BAB III
PENUTUP

Al-Quran telah menekankan bahwa kaum muslim tidak boleh menahan kekayaan dan pendapatan mereka hanya untuk diri mereka sendiri. Melainkan setelah memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka secukupnya, mereka harus melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap keluarga dekat mereka, para tetangga serta orang-orang lain di dalam komunitas tersebut. Orang-orang yang berpunya secara khusus diperintahkan untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan fakir miskin.
Maka Islam mengubah seluruh pandangan dan sikap masyarakat yang berkaitan dengan uang dan pemanfaatannya. Semangat keadilan sosial meresap ke seluruh komunitas dan mengembangkan sifat-sifat mulia dikalangan anggota-anggotanya berupa kasih sayang, kedermawanan dan gotong royong sedemikian rupa sehingga mereka mulai memahami serta melaksanakan kewajiban-kewajiban moralnya secara bebas dan ikhlas, tidak dipaksa oleh suatu hukum apa pun.
Allah dalam firman-Nya di surat Ali ‘Imran ayat 110. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Surat Al-Hasyr ayat 7 menegaskan prinsip yang mengatur pembagian kekayaan dalam sistem kehidupan islami. Bahwa kekayaan itu harus dibagi-bagikan ke seluruh kelompok masyarakat dan bahwa kekayaan itu tidak boleh menjadi komoditi yang beredar di antara orang-orang kaya saja. Al-Quran telah menetapkan aturan tertentu guna mencapai sasaran keadilan dalam pendistribusian kekayaan dalam masyarakat. Al-Quran telah melarang riba dan telah memperkenalkan hukum-hukum waris, yang membatasi kekuasaan si pemilik harta kekayaan dan mendorongnya untuk mendistribusikan seluruh harta miliknya dikalangan kerabat dekat setelah ia wafat. Kemudian langkah-langkah positif diambil untuk menyebarkan kekayaan di kalangan penduduk melalui pengutan wajib zakat, sistem infaq dan sumbangan, sebagaian (dalam bentuk bantuan) untuk orang-orang miskin dan lemah dari penghasilan negara.         
Aturan ini dan aturan yang serupa lainnya telah dianjurkan oleh Al-Quran untuk menghapuskan pemusatan kekayaan serta mendorong pendistribusiannya di kalangan penduduk. Dan pada saat yang sama, dengan memberikan hak pemilikan, ia berarti telah memberi suatu motivasi yang kuat pada individu untuk memanfaatkan sebagian besar kemapuan yang dimilikinya.



DAFTAR PUSTAKA

Suma, Muhammad Amin. Tafsir Ayat Ekonomi. Jakarta: Amzah. 2013
Afzalurrahman. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Terj. Dewi Nurjulianti. Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy. 1994
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta: EKONISIA. 2004
Rivai, Veithzal, Antoni Rizal U. Islamic Economics and Finance. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012
Rivai, Veithzal, et all. Principle Of Islamic Finance. Yogyakarta: BPFE. 2012
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 200

No comments:

Post a Comment