MAKALAH EKONOMI ISLAM
tafsir ayat dan hadits
"DISTRIBUSI"
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Distribusi
merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteraan. Dampak dari
distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial
dan politik. Oleh karena itu Islam memberi perhatian lebih terhadap distribusi
pendapatan dalam masyarakat. Maka Islam memperhatikan berbagai sisi dari
perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya, misalnya dalam jual beli, utang
piutang, dan sebagainya.
Kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat tergantung bukan pada sektor produksi saja tetapi juga
pada pembagiannya yang sesuai (distribusi). Kekayaan dapat diproduksi di suatu
negara dalam jumlah yang besar tetapi jika pendistribusiannya tidak didasarkan
atas prinsip-prinsip nya yang benar dan adil, maka negara tersebut tidak akan
dapat mencapai kemakmuran.
Islam
mengambil jalan tengah yang mampu membantu dalam menegakkan suatu sistem yang
wajar dan adil. Islam tidak memberikan kebebesan mutlak maupun hak yang tidak terbatas
dalam pemilikan kekayaan pribadi bagi individu dalam lapangan produksi, dan
tidak pula mengikat individu pada sebuah sistem pemerataan ekonomi yang di
bawah sistem ini ia tidak dapat memperoleh dan memiliki kekayaan secara bebas.
Prinsip yang menjadi pedoman dari sistem ini adalah bahwa harus ada lebih
banyak produksi dan distribusi kekayaan agar sirkulasi kekayaan meningkat yang
mungkin dapat membawa pada pembagian yang adil di antara berbagai kelompok
komunitas, serta tidak memusatkannya pada sebagian kecil orang saja. Kitab Suci
al-Quran telah menjelaskan kaidah Islam yang sangat berharga di dalam surat
Al-Israa’ ayat 29-30, Al-Hasyr ayat 7, dan dalam surat-surat lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
1) Apa pengertian distribusi
dalam Islam?
2) Apakah tafsir
dan kandungan dari surat Al-Israa’ ayat 29-30?
3) Apakah tafsir dan
kandungan dari surat Al-Hasyr ayat 7?
4) Bagaimana
dalil-dalil Islam menjelaskan tentang distribusi dalam Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Distribusi
Pengertian
distribusi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah penyaluran (pembagian,
pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat; pembagian barang
keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat) oleh pemerintah kepada
pegawai negeri, penduduk, dsb. Sedangkan distribusi menurut para ahli ekonomi
adalah merupakan proses penyaluran hasil produksi berupa barang dan jasa
dari produsen ke konsumen guna memenuhi kebutuhan manusia, baik primer maupun
sekunder.
B. Surat Al-Israa’
(17) : 29-30
a.
Teks
dan Terjemahannya
(29)وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا
تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
(30). إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚإِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
(30). إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚإِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
29. Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
30. Sesungguhnya Tuhanmu
melapangkan rezki kepada siapa yang dia kehendaki dan menyempitkannya;
Sesungguhnya dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
b.
Makna
Global
Secara
umum, ayat ini mengingatkan manusia dalam hal ini orang-orang mukmin supaya
dalam hal distribusi barang-barang ekonomi dan keuangan, termasuk infak tidak
boleh terlalu kikir dan tidak pula berlaku boros. Maknanya, distribusi itu
dilakukan secara sedang dan berimbang.
c.
Tafsir
Ayat
Yaitu
jangan berlaku pelit dengan apa (rezeki) yang telah Allah berikan kepada kamu
yang tersebab kepelitanmu itu mengakibatkan hak-hak orang lain menjadi
terampas. Larangan pelit ini oleh Al Quran disimbolkan dengan perilaku orang
pelit seolah-olah ia tidak merasa puas dengan cuma menggenggamkan jari-jemari
tangannya untuk tidak mau memberikan sesuatu itu, sampai-sampai ia angkat kedua
tangannya dan lalu ia letakkan (dibelenggukan) di atas lehernya.
Allah
berfirman seraya memerintahkan untuk berlaku sederhana dalam menjalani hidup
dan mencela sifat kikir sekaligus melarang bersikap berlebih-lebihan. Sebagai
seorang muslim dilarang kikir dan bakhil, tidak pernah memberikan
sesuatu pun kepada seseorang. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang
Yahudi. Tangan Allah itu terbelenggu. Yang mereka maksudkan dengan kalimat itu
adalah bahwa Allah itu kikir. Maha Tinggi Allah dan Maha Suci serta Maha
Pemurah lagi Maha Dermawan.
Pada
saat yang bersamaan, Allah juga melarang kamu mengulurkan/membentangkan
tanganmu dengan bentangan yang tanpa batas. Maksudnya dilarang berlaku terlalu
loyal atau boros dalam hal distribusi, sehingga ia sendiri, keluarga dan/atau
para pihak yang berhak lainnya mengalami kesulitan untuk mendapatkan
hak-haknya. Sebab, sikap terlalu pelit dan terlalu boros dalam mendistribusikan
ekonomi dan keuangan itu sama tidak baiknya. Bagaimanapun, perilaku pelit
maupun boros, itu pada gilirannya menyebabkan pelakunya menjadi orang yang
tercela atau dicela, serta bagaimanapun pada akhirnya ia akan menyesali
perbuatannya tersebut.
Janganlah
terlalu berlebihan dalam berinfak, di mana seseorang memberi di luar
kemampuannya dan mengeluarkan pengeluaran yang lebih banyak daripada pemasukan.
Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Artinya, jika kamu kikir, niscaya
kamu akan menjadi tercela yang senantiasa mendapat celaan dan hinaan dari
orang-orang serta tidak akan di hargai dan mereka tidak memerlukanmu lagi.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Zubair bin Abi Salma dalam mu’allaqatnya:
“Barangsiapa yang mempunyai banyak harta lalu ia
kikir dengan kekayaannya itu, niscaya ia akan diabaikan kaumnya, dan mendapat
hinaan.”
Bila
kamu mengulurkan tanganmu di luar kemampuanmu, maka kamu akan hidup tanpa
sesuatu apapun yang dapat kamu nafkahkan, sehingga kamu menjadi seperti hasir, yaitu
binatang yang sudah tidak mampu berjalan yang berhenti lemah dan tiada daya.
Demikianlah yang dinamakan hasir. Ayat di atas ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas,
al-Hasan, Qatadah, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid dan lain-lain, bahwa yang dimaksudkan
di sini adalah sifat kikir dan sifat berlebih-lebihan.
Dan
dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakar, ia
bercerita, Rasulullah bersabda:
“Berinfaklah, kamu begini, begini dan begini, dan
janganlah kamu kikir sehingga Allah pun akan kikir kepadamu, serta janganlah
pula kamu enggan memberi orang sehingga Allah pun akan menahan pemberian
kepadamu. [Dan janganlah kamu menghitung-hitung pemberian sehingga Allah pun
akan menghitung-hitung (pemberian) kepadamu.”
Dalam
kitab shahib mulim disebutkan dari Abu Hurairah ia bercerita Rasulullah
bersabda:
“Sesungguhnya Allah pernah berkata
kepadaku,”Berinfaklah, maka Aku akan memberi infak kepadamu.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Sesungguhnya
Rabb-mu akan memudahkan/melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki;
dan Dia tentukan kadar-banyaknya; karena sesungguhnya Allah itu adalah sangat
mengetahui lagi Maha Melihat segala tidak tanduk hamba-Nya.
Maksudnya,
sesungguhnya Allah akan meluaskan dan melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia
kehendaki, dalam rangka menguji coba orang itu apakah ia bersyukur atau malahan
menjadi kufur? Allah jugalah yang menentukan dalam arti membatasi bahkan
menyempitkan rezeki seorang dalam konteks pengujuan apakah ia akan bersabar
atau bahkan ia keluh-kesah dan malahan merasa tidak suka/puas dengan itu.
Mengingat manusia itu sebagian ada yang tidak berlaku patut, kecuali dengan
keluasan rezekinya, sementara sebagian yang lain ada juga yang tidak dapat
berbuat maslahat, kecuali dengan kesempitan rezekinya.
d.
Istinbat
Ayat
Dari
kedua ayat di atas, dapatlah dipahami bahwa dalam mendistribusikan ekonomi
dan/atau keuangan, seseorang dilarang berlaku kikir dan dilarang bila berlaku
terlalu boros. Sikap yang terbaik dalam hal distribusi ekonomi dan keuangan
adalah memelihara asas keseimbangan dan kecukupan. Allah lah yang akan
melapangkan atau menyempitkan rezeki seseorang, keluarga, masyarakat, atau
bangsa dan negara sekalipun; karena Allah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.
C. Surat Al Hasyr
(59) : 7
a.
Teks
dan Terjemahannya
(7) مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚوَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚوَاتَّقُوا اللَّهَ ۖإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
b.
Makna
Global
Meskipun
ayat di atas berbicara tentang fai (semacam pajak kepala dalam kehidupan
sekarang), namun di antara isinya yang ditekankan adalah justru perilah
pemerataan distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya tidak selalu dan
semuanya beredar pada segelintir orang-orang kaya. Asas pemerataan ekonomi dan
keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam Al-Quran dianjurkan
supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani Al-Quran. Pada saat
yang bersamaan, ayat ini juga sekaligus mengingatkan umat dan masyarakat supaya
menjauhi aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh Rasulullah.
c.
Sabab
al-Nuzul
Dalam
suatu riwayat dikemukan bahwa surat al-Anfaal turun di waktu terjadi peperangan
Badar (Ramadhan 2H/624M), sementara surat al-Hasyr diturunkan pada waktu
peperangan bani Nadhir (4H/625M). Kaum yahudi bani Nadhir adalah penduduk yang
dahulu di zaman Nabi Muhammad bertempat tinggal dan berkebun kurma di luar kota
Madinah. Karena pengkhianatan mereka kepada Rasulullah, maka Rasul pun mengepung
mereka dan mengusirnya seraya Rasul membolehkan mereka membawa harta
kekayaannya sejauh yang mereka mampu mengangkutnya dengan binatang-binatang
mereka, dengan catatan mereka tidak diperbolehkan membawa senjata. Mereka pun
kemudian pergi sampai ke Syam (Syria). Allah menurunkan ayat 1 sampai 5 surat
al-Hasyr yang pada intinya adalah membenarkan tindakan Rasulullah itu termasuk
tindakannya untuk mengambil alih sisa-sisa harta yang ditinggalkan mereka (kaum
bani Nadhir).
Dalam
riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah sampai di tempat kaum bani
Nadhir, mereka bersembunyi di dalam benteng. Lalu Rasulullah memerintahkan para
sahabat supaya menebang pohon-pohon kurma untuk kemudian membakarnya (sampai
berasap tebal) yang menyebabkan bani Nadhir tidak mampu lagi bertahan di dalam
benteng. Mereka lalu berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad sambil
mengatakan: “Hai Muhammad! Kamu telah melarang orang merusak bumi, dan mencela
orang yang berbuat kerusakan (di muka bumi), namun mengapa kamu sendiri justru
menebangi pohon-pohon kurma dan lalu membakarnya?” Terkait teriakan mereka itu,
maka turunlah ayat 9 dari surat al-Hasyr.
d.
Tafsir
Ayat
Firman
Allah ini menjelaskan tentang makna fa’i sifat dan hikmahnya. Fa’i adalah
segala harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui
peperangan dan tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Seperti harta benda bani
an-Nadhir ini, dimana kaum muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda maupun
unta, artinya mereka dalam hal ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang
atau menyerbu mereka, tetapi para musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah
Allah timpakan ke dalam hati mereka karena wibawa Rasulullah. Kemudian Allah
memberikan harta benda yang telah mereka tinggalkan untuk Rasul-Nya. Oleh
karena itu, beliau mengatur pembagian harta benda yang diperoleh dari Bani
an-Nadhir sekehendak hati beliau, dengan mengembalikannya kepada kaum muslimin
untuk dibelanjakan dalam segala sisi kebaikan dan kemaslahatan yang telah
disebutkan oleh Allah dalam ayat-ayat ini.
Harta
kekayaan dalam bentuk apapun yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari ahli qura
(penduduk Khaibar, Fadak dan ‘Arinah), itu untuk Allah, untuk Rasulullah, untuk
Dzawil Qurba (kerabat dekat), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu
sabil. Menurut ayat ini, al-fai (diluar kasus bani Nadhir), itu dibagi ke dalam
lima bagian dengan ketentuan: 1/5 daripadanya didistribusikan untuk lima
kelompok, yaitu untuk Allah dan Rasulullah yang digunakan untuk kebutuhan hidup
beliau selama hayatnya, dan kemudian didayagunakan untuk kemaslahatan kaum
muslimin sepeninggalnya; untuk keluarga dekat Nabi Muhammad, dalam hal ini Bani
Hasyim dan Bani Abdul Muthalib; untuk kepentingan anak-anak yatim; untuk
orang-orang miskin; dan untuk ibnu sabil (anak-anak jalanan yang terlantar).
Sementara yang 4/5 bagian selebihnya, adalah khusus untuk Nabi, yang 4/5 bagian
ini telah beliau bagi-bagikan selama hidupnya kepada kaum Muhajirin dan tidak
kepada kaum Anshar, kecuali dua orang saja yang nyata-nyata fakir.
Imam
Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar memberitahu kami dari az-Zuhri,
dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar, ia berkata: “Harta Bani
an-Nadhir termasuk yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya, dengan tidak ada
usaha terlebih dahulu dari kaum muslimin untuk mengerahkan kuda dan untanya.
Oleh karena itu, harta rampasan itu hanya khusus untuk Rasulullah, beliau
nafkahkan untuk keluarganya sebagai nafkah untuk satu tahun. Dan sisanya beliau
manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di jalan-Nya.”
Telah
diadikan pihak-pihak yang memperoleh bagian harta fa’i ini agar tidak hanya
dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, lalu mereka pergunakan sesuai kehendak
dan hawa nafsu mereka, serta tidak mendermakan harta tersebut kepada fakir
miskin sedikitpun.
Ketentuan
hukum yang membagi-bagikan harta fai ke dalam beberapa kelompok sosial itu, di
antara tujuan utamanya ialah untuk memeratakan peredaran harta kekayaan
(ekonomi dan keuangan) supaya tidak selalu atau selamanya bergulir dan bergilir
pada segelintir tangan orang-orang kaya saja diantara mereka. Disinilah pula
terletak kelebihan esensial teori ekonomi profetik (kenabian) yang sangat
mementingkan asas pemerataan disamping prinsip keadilan dan terutama
keberkahan. Usaha memeratakan peredaran ekonomi sebagaimana yang mudah
disaksikan maupun terutama dirasakan memang yang paling sulit, betapa banyak
ketimpangan sosial ekonomi dan keuangan di tengah-tengah masyarakat ini.
Kebijakan
Allah dan Rasul-Nya yang memberikan harta fai hanya kepada kaum Muhajirin yang
pada umumnya miskin, dan tidak kepada kaum Anshar yang kebanyakan sudah kaya
atau bahkan kaya-raya, kecuali kepada satu atau dua orang yang benar-benar
fakir. Jadi asas pemerataan ekonomi dan keuangan model Rasulullah itu jelas dan
tegas. Lebih didasarkan atas pertimbangan (keberpihakan) kefakiran dan
kemiskinan masyarakat, bukan karena pertimbangan etnik dalam hal ini
keperpihakan Nabi kepada kaum Muhajirin dan pengabaian kaum Anshar. Namun
alasan apa pun yang disampaikan Nabi ketika itu apalagi di zaman sekarang ini,
tampaknya akan tetap terus dan terus tetap menuai kecemburuan pihak yang tidak
mendapatkan dana fai maupun dana sosial lainnya. Hal yang maklum karena al-mal
(harta), sesuai dengan makna dasarnya, selalu memikat semua dan setiap orang
tanpa peduli apakah ia itu fakir miskin ataukah kaya raya. Kebijakan sapu jagat
yang seringkali diambil oleh pemangku kebijakan, seringkali mengabaikan asas
pemerataan dan keadilan ini, meskipun pada saat yang bersamaan, kebijakan sapu
jagat itu seolah-olah berasas pemerataan. Ambil contoh pembebasan
biaya pendidikan yang tidak lagi memandang perbedaan antara yang kaya dan yang
miskin atau antara yang mampu dan tidak mampu, semuanya dibebaskan dari biaya
sekolah.
Disini
tampak Al-Quran memberikan tuntunan kepada orang-orang beriman untuk bersikap
tulus tanpa embel-embel apapun dalam menerima dan mengamalkan hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Termasuk penetapan hukum tentang pembagian
harta fai yang secara lahiriah seolah-olah tidak adil itu lantaran hanya
diperuntukkan kaum Muhajirin dan tidak untuk kaum Anshar kebanyakan. Padahal,
kaum Anshar demikian besar pengorbanannya kepada penduduk asal Muhajirin.
Namun, hukum fai yang pembagiannya seperti demikian itu, bukanlah berdasarkan kepada
etnik karena Muhajirin atau disebabkan Anshar, melainkan lebih kepada
pertimbangan perwujudan keseimbangan dan pemerataan kehidupan sosial ekonomi
yang harus ditempuh dengan cara memberikan bagian lebih kepada kaum fakir
miskin yang kebetulan kala itu didominasi oleh kaum Muhajirin yang sewaktu
hijrah ke Madinah memang tidak mungkin membawa harta kekayaan yang mereka
miliki di Mekah. Sehingga apa pun yang beliau perintahkan kepada kalian maka
kerjakanlah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Karena beliau
hanyalah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang keburukan.
Dan
dalam kitab ash-Shahihain juga telah ditegaskan hadits dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda:
“Jika aku perintahkan kepada kalian, maka
kerjakanlah semampu kalian. Dan apa yang aku larang, maka jauhilah.”
Imam
an-Nasi’i meriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, bahwa keduanya telah
menyaksikan Rasulullah melarang penggunaan dubba’ (sejenis labu), hantam (guji
hijau), naqir (batang kurma yang dilubangi), dan muzaffat (tempurung yang
dilumuri tir). Setelah itu Rasulullah membaca ayat. “Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah.”
Hendaknya
kita semua bertakwa kepada Allah dalam hal menerima ketetepan hukum-hukum-Nya
dan dalam menjalankan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya,
karena sesungguhnya Allah itu sangat dahsyat hukuman-Nya mana kala
hukum-hukumnya dilanggar oleh manusia.
e.
Istinbat
Ayat
Dari
ayat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Harta fa’i itu
pada dasarnya dan dalam kenyataannya diproyeksikan untuk kemaslahatan umum
seperti yang dipraktikkan melalui kebijakan dan kebajikan Rasulullah, kemudian
untuk masyarakat miskin tertentu dalam hal ini keluarga Nabi sendiri (khusus Bani
Hasyim dan Bani Abdul Muthalib), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu
sabil.
2) Tujuan utama dari
pembagian harta fai (ke dalam lima bagian) yang dilakukan secara profesional,
proporsional, dan prosedural itu, semata-mata untuk mencegah kemungkinan
peredaran harta kekayaan yang selalu dan selamanya berada di dalam genggaman
segelintir orang-orang kaya.
3) Semua dan setiap
hukum yang dilakukan Rasulullah, wajib diikuti oleh umatnya. Sebaliknya, setiap
hukum yang dilarang oleh Rasulullah, wajib dijauhi oleh umatnya.
4) Mengikuti hukum
Rasulullah itu merupakan bagian dari perintah ketakwaan kepada Allah,
melanggarnya tergolong ke dalam perbuatan dosa yang akan disiksa oleh Allah.
D. Kegiatan
Distribusi dalam Islam
Dalam
perekonomian modern saat ini, menurut Ali Sakti (2008) tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa sektor distribusi merupakan sektor yang terpenting dalam aktivitas
perekonomian. Pelaku distribusi kini telah menjadi pelaku ekonomi dominan di
samping konsumen dan produsen. Karena itu, menjadi penting melihat posisi
sektor ini dalam mekanisme perekonomian menggunakan perspektif Islam, simak
firman Allah dalam surat Huud ayat 35.
“Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah
takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia
terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi
dengan membuat kerusakan.”
Fungsi
distribusi dalam aktivitas ekonomi pada hakikatnya mempertemukan kepentingan
konsumen dan produsen dengan tujuan kemaslahatan umat. Aktivitas usaha
distribusi ini kemudian dituntut untuk dapat memenuhi hak dan kewajiban yang
diinginkan syariah bagi konsumen dan produsen. Distribusi menempati posisi
penting dalam teori ekonomi mikro, baik dalam sistem ekonomi Islam maupun kapitalis,
karena tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka, tetapi juga aspek
sosial dan politik.
Pada
saat ini kenyataan yang tampak adalah telah terjadi ketidakadilan dan
ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan, baik di negara maju
maupun di negara-negara berkembang, yang mempergunakan sistem kapitalis sebagai
sistem ekonomi negaranya, sehingga menciptakan kemiskinan dimana-mana.
Sistem
ekonomi yang berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus
berdasarkan dua sendi: sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Kebebesan
disini adalah kebebasan dalam bertindak yang dibingkai nilai-nilai agama dan
keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakan bebas bertindak
tanpa campur tangan pihak manapun, serta keseimbangan antara unsur materi dan
spiritual, keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta antara suatu
masyarakat dan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini
tercermin dari larangan dalam Al Quran agar harta kekayaan tidak diperbolehkan
menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja,
tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat
sebagai suatu keseluruhan, seperti yang diterangkan dalam surat Al Hasyr ayat
7.
Sistem
ekonomi Islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya, baik yang kaya
maupun miskin, dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk
memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara
terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah pada penumpukan kekayaan yang
tidak layak dalam tangan segelintir orang dicela. Al-Quran menyatakan agar si
kaya mengeluarkan sebagian rezkinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan
jalan zakat, shadaqah, hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus
tersebar dengan baik.
Konsep
Islam menjamin sebuah distribusi yang memuat nilai-nilai insani, karena dalam
konsep Islam distribusi meliputi beberapa hal:
1.
Kedudukan
manusia yang berbeda antara satu dengan yang lain merupakan kehendak Allah.
Perbedaan ini merupakan bagian upaya manusaia untuk bisa memahami nikmat Allah,
sekaligus memahami kedudukannya dengan sesamanya. Allah berfirman dalam surat
Al An’aam ayat 165.”Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Serta dalam surat
An Nahl ayat 71. “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian
yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu)
tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar
mereka sama (merasakan) rezki itu.”
Manusia tidak bisa
menentukan dirinya untuk berkedudukan lebih tinggi atau rendah, karena semua
itu telah ditentukan Allah. Dalam surat Faathir ayat 2, Allah berfiman. “Apa
saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada
seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka
tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
2.
Pemilikan
harta pada hanya beberapa orang dalam suatu masyarakat akan menimbulkan
ketidakseimbangan hidup dan preseden buruk bagi kehidupan. Sebagaimana firman
Allah dalam surat Huud ayat 116. “Dan orang-orang yang zalim hanya
mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah
orang-orang yang berdosa.”
3.
Pemerintah
dan masyarakat mempunyai peran penting untuk mendistribusikan kekayaan kepada
masyarakat. Allah dalam surat adz-Dzaariyaat ayat 19 berfirman. “Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.” Dan dalam surat al-Baqarah ayat
219 Allah berfirman. “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
Dalam surat
Az-Zukhruf ayat 32 juga dijelaskan. “Apakah mereka yang membagi-bagi
rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
4.
Islam
menganjurkan untuk membagikan harta lewat zakat, sedekah, infaq dan lainnya
guna menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial. Surat al-Hasyir ayat 7. “Supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.” Dan
Surat ath-Thalaaq ayat 7 Allah berfirman. “Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya.”
BAB III
PENUTUP
Al-Quran
telah menekankan bahwa kaum muslim tidak boleh menahan kekayaan dan pendapatan
mereka hanya untuk diri mereka sendiri. Melainkan setelah memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka secukupnya, mereka harus melaksanakan
kewajiban-kewajiban terhadap keluarga dekat mereka, para tetangga serta
orang-orang lain di dalam komunitas tersebut. Orang-orang yang berpunya secara
khusus diperintahkan untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan fakir miskin.
Maka
Islam mengubah seluruh pandangan dan sikap masyarakat yang berkaitan dengan
uang dan pemanfaatannya. Semangat keadilan sosial meresap ke seluruh komunitas
dan mengembangkan sifat-sifat mulia dikalangan anggota-anggotanya berupa kasih
sayang, kedermawanan dan gotong royong sedemikian rupa sehingga mereka mulai
memahami serta melaksanakan kewajiban-kewajiban moralnya secara bebas dan
ikhlas, tidak dipaksa oleh suatu hukum apa pun.
Allah
dalam firman-Nya di surat Ali ‘Imran ayat 110. “Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Surat
Al-Hasyr ayat 7 menegaskan prinsip yang mengatur pembagian kekayaan dalam
sistem kehidupan islami. Bahwa kekayaan itu harus dibagi-bagikan ke seluruh
kelompok masyarakat dan bahwa kekayaan itu tidak boleh menjadi komoditi yang
beredar di antara orang-orang kaya saja. Al-Quran telah menetapkan aturan
tertentu guna mencapai sasaran keadilan dalam pendistribusian kekayaan dalam
masyarakat. Al-Quran telah melarang riba dan telah memperkenalkan hukum-hukum
waris, yang membatasi kekuasaan si pemilik harta kekayaan dan mendorongnya
untuk mendistribusikan seluruh harta miliknya dikalangan kerabat dekat setelah
ia wafat. Kemudian langkah-langkah positif diambil untuk menyebarkan kekayaan
di kalangan penduduk melalui pengutan wajib zakat, sistem infaq dan sumbangan,
sebagaian (dalam bentuk bantuan) untuk orang-orang miskin dan lemah dari
penghasilan negara.
Aturan
ini dan aturan yang serupa lainnya telah dianjurkan oleh Al-Quran untuk
menghapuskan pemusatan kekayaan serta mendorong pendistribusiannya di kalangan
penduduk. Dan pada saat yang sama, dengan memberikan hak pemilikan, ia berarti
telah memberi suatu motivasi yang kuat pada individu untuk memanfaatkan
sebagian besar kemapuan yang dimilikinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Suma, Muhammad
Amin. Tafsir Ayat Ekonomi. Jakarta: Amzah. 2013
Afzalurrahman.
Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Terj. Dewi Nurjulianti. Jakarta: Yayasan
Swarna Bhumy. 1994
Sudarsono, Heri.
Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta: EKONISIA. 2004
Rivai,
Veithzal, Antoni Rizal U. Islamic Economics and Finance. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2012
Rivai, Veithzal,
et all. Principle Of Islamic Finance. Yogyakarta: BPFE. 2012
Katsir, Ibnu.
Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 200
No comments:
Post a Comment