MAKALAH EKONOMI ISLAM
SISTEM PENGUPAHAN (Tafsir Ayat dan Hadits Ekonomi)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT,
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Sistem Pengupahan”. Tugas makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Tafsir Ayat dan Hadist Ekonomi yang diampu Bapak Fajar
Fandi Atmaja, Lc., M.S.I..
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai Tafsir Ayat dan Hadist Ekonomi Syariah
dengan
lebih baik. Semoga makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran
kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Islam Indonesia dan
memotivasi kita untuk belajar lebih banyak lagi.
kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah disusun, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Yogyakarta, 21 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................... 1
Daftar Isi............................................................................................................................. 2
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang.................................................................................................................... 3
Rumusan Masalah................................................................................................................ 4
Tujuan.................................................................................................................................. 4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Definisi Pengupahan................................................................................................ 4
2.2.Tafsir Ayat QS.
ath-Thalaq: 6.................................................................................. 5
2.3.Tafsir Ayat QS.
Al-Qashash: 26.............................................................................. 6
2.4.Tafsir Hadist............................................................................................................ 7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.......................................................................................................................... 10
Daftar Pustaka..................................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Islam,
sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh tentu telah memberikan jawaban
atas seluruh permasalahan manusia, termasuk perekonomian. Pada dasarnya,
hubungan antara pengusaha dan buruh di zaman modern ini telah dipraktikkan
sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Upah atau
ujroh dalam bahasa Arab di dalam Islam sangat berhubungan dengan konsep materi
dan etika moral, berbeda dengan ekonomi konvensional yang memandang bahwa upah
hanyalah suatu konsep material semata. Karena itulah alternatif yang Islam
berikan sangat berbeda dalam pengupahan akan berbeda dengan konsep ekonomi
konvensional.
Pengupahan
atau pemberian upah adalah salah satu masalah yang tidak pernah selesai
diperdebatkan berbagai pihak, apapun bentuk organisasinya baik itu swasta
maupun pemerintah. Seolah-olah pengupahan merupakan pekerjaan yang selalu
membuat pihak manajemen berpikir berulang-ulang untuk menetapkan kebijakan
tersebut. Tidak sedikit besarnya upah juga selalu memicu konflik antara pihak
manajemen dengan pihak orang yang dipekerjakan. Hal ini terbukti dengan
banyaknya unjuk rasa di negara kita tentang kelayakan upah yang tidak sesuai
dengan harapan, tidak berbanding lurus dengan apa yang mereka kerjakan. Maka
dari itu, makalah ini akan mengembalikan permasalahan yang ada kepada dasar
hukum yang melandasinya, yaitu al-qur’an dan hadist.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
definisi pengupahan?
2. Bagaimana tafsir ayat Al-Quran yang
berkaitan dengan sistem pengupahan?
3.
Bagaimana
tafsir Hadist yang berkaitan dengan sistem pengupahan?
Tujuan
1.
Agar
mahasiswa mengetahui definisi sisrem pengupahan
2. Agar mahasiswa memahami tafsir ayat
Al-Quran tentang sistem pengupahan
3.
Agar
mahasiswa memahami tafsir Hadist tentang sistem pengupahan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pengupahan
Upah
adalah istilah lain dari Gaji dan Honor. Upah atau gaji adalah suatu bentuk
pembayaran periodik dari seorang majikan kepada karyawan nya yang di nyatakan
dalam suatu kontrak kerja. Dari sudut pandang pelaksana bisnis, gaji dapat di
anggap sebagai biaya yang di butuhkan untuk mendapatkan sumber daya manusia
untuk menjalankan operasi, dan karenanya di sebut dengan biaya personel atau
biaya gaji bisa di sebut pula upah.
Di indonesia di
kenal beberapa sistem upah, yaitu:
2.1.1 Upah Menurut Waktu
Menurut
sistem ini, besarnya upah didasarkan pada lama bekerja seseorang. Satuan waktu
di hitung per jam, per hari, per minggu, atau per bulan. Misalnya adalah
pekerja bangunan di bayar perhari atau perminggu.
2.1.2 Upah Menurut
Satuan Hasil
Menurut
sistem ini, besarnya upah di dasarkan pada jumlah barang yang di hasilkan oleh
seseorang. Satuan hasil di hitung per potong barang, per satuan panjang, atau
per satuan berat. Misalnya, upah pemetik daun teh di hitung perkilogram.
2.1.3 Upah Borongan
Menurut
sistem ini pembayaran upah berdasarkan atas kesepakatan bersama antara pemberi
dan penerima pekerjaan. Misalnya untuk memperbaiki mobil yang rusak, membangun
rumah, dll. Upah model ini harus jelas bukan hanya besarnya upah yang
disepakati, tetapi juga berapa lama pekerjaan yang di tugaskan kepada penerima
borongan harus selesai.[1]
2.2 Tafsir Ayat
1) QS. ath-Thalaq: 6
QS. ath-Thalaq: 6
Kata kunci
Ardha’na : mereka
menyusukan
Fa’atuhunna : maka berilah mereka
Ujurahunna : upah mereka
Penjelasan
Awal
ayat ini menjelaskan bahwa menjadi kewajiban bagi suami memberikan tempat
tinggal yang layak kepada istri yang sedang menjalani masa iddah sesuai dengan
kemampuan suami. Tidak diperkenankan bagi suami untuk mempersulit dan
menyempitkan hati istri dengan memberikan tempat tinggal yang tidak layak. “wala tudharrahunna
litudhayyaiqu’alaihinna.” Apabila istri yang ditalaq ba’in sedang hamil,
maka wajib diberikan nafkah hingga melahirkan karena masa iddah selesai hingga
mereka melahirkan, “fa’anfiqu ‘alaihinna
hatta yadha’na hamlahunna.”
Jika
anaknya sudah lahir, maka mesti dimusyawarahkan mengenai kesehatan terutama air
susu ibu. Meskipun masa iddah telah selesai, seorang ibu sebaiknya tetap
menyusui anaknya dan suaminya wajib memberikannya upah, “fa’in ardha’na lakum
fa’atahunna ujurahunna.” Perintah ayat ini kepada para suami yang tetap
memberikan nafkah yaitu atas upah menyusui anaknya dengan harga yang berlaku
kepada umumnya meskipun istri tersebut sudah selesai dari masa iddah. Pemberian
upah tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan mantan istrinya. Upah
ini serupa dengan ketentuan upah pada transaksi lainnya. Seperti penjelasan
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,”Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam
itu.”
Penutup
ayat ini memberitahukan bahwa apabila di antara keduanya tidak menyepakatinya,
maka pihak suami diperkenankan untuk memilih wanita lain untuk menyusukan
anaknya tersebut.”wa in ta’asartun fa
saturdhi’u tahu ukhra.”
2) QS. Al-Qashash: 26
QS. Qashash: 26
Kata
kunci
Ista’jirhu : ambillah
upahan dia sebagai pekerja.
Ista’jarta : engkau
ambil upahan sebagai pekerja.
Al-qawiyyu : yang
kuat.
Al-aminu : dapat
dipercaya.
Penjelasan
Ayat
ini menjelaskan tentang Musa yang hendak diangkat sebagai pekerja pada keluarga
seorang saleh yang memiliki dua anak, semuanya wanita. Sebelumnya Musa telah
membantu kedua wanita tersebut saat mengambilkan air untuk minum ternak mereka.
Kisah tersebut dijelaskan dalam QS. Qashash ayat 23 dan 24, “dan tatkala ia
sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang
sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “apakah
maksudmu (dengan berbuat begitu)?” kedua wanita itu menjawab: “kami tidak dapat
meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan
(ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.”
Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya.” Karena mendapat
pertolongan dari Musa, salah satu wanita itu hendak mempertemukan Musa dengan
bapak mereka. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Qashash ayat 25, “kemudian
datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan
kemalu-maluan, ia berkata:”sesungguhnya bepakku memanggil kamu agar ia memberikan
balasan terhadap (kebaikan)mu memberikan minum (ternak) kami.” Maka tatkala
Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya).
(bapaknya) berkata: “janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang
yang zalim itu.”
Saat
pertemuan itulah Musa mendapat tawaran untuk menjadi pekerja di keluarga itu
untuk mengurus ternak,”qalat ihdahuma ya’abati ista’jirhu.” Pertimbangan keluarga
tersebut untuk menjadikan Musa pekerja mereka yaitu karena Musa tubuh yang kuat
serta dapat dipercaya, “inna khaira
manista’jartal qawiyyul-aminu.”
Cara
penentuan upah:
1) Menggunakan upah pasar (market wages)
Wages
|
Labour
|
Supply
|
Demand
|
LM
|
MW
|
2)
Marjinal
productivity of labour
Semakin
produktif seseorang, semakin tinggi upahnya
3) Basic need (kebutuhan dasar)
Upah
diberikan kepada buruh berdasarkan kebutuhan tenaga kerja
2.2 Hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan memberikan upah
sebelum keringat si pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ
قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum
keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Maksud hadits
ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan,
begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap
bulan.
Al
Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya
tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering
adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah
pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering
atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)
Menunda
penurunan gaji pada pegawai padahal mampu termasuk kezholiman. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu)
termasuk kezholiman” (HR. Bukhari no. 2400 dan Muslim no. 1564)
Bahkan
orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ
عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
“Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan
dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud no. 3628, An Nasa-i
no. 4689, Ibnu Majah no. 2427, hasan).
Maksud halal kehormatannya, boleh saja kita katakan pada orang lain bahwa
majikan ini biasa menunda kewajiban menunaikan gaji dan zholim. Pantas
mendapatkan hukuman adalah ia bisa saja ditahan karena kejahatannya tersebut.
Bukhari
dan yang lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
ثَلاَثَةٌ
أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ
بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى
مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan menjadi
musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan nama-Ku,
kemudian berkhianat; seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak),
kemudian memakan uangnya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan telah
diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.”
Para ulama telah menganggap bahwa menunda pembayaran gaji
pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa
besar berdasarkan ancaman yang sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran
dari orang yang kaya merupakan bentuk kezaliman, sebagaimana yang disebutkan
dalam pembahasanghashab. Di antara bentuk
kezalimannya adalah tidak memberikan sama sekali hak-hak pekerja, sedang para
pekerja tidak memiliki bukti. Bahkan, terkadang membebaninya dengan pekerjaan
atau menambah waktu kerja (lembur), tapi hanya memberikan gaji pokok saja tanpa
membayar pekerjaan tambahan atau waktu lembur dengan memanfaatkan momentum
minimnya lowongan pekerjaan dan kelemahan pihak pekerja. Terkadang pula,
terjadi penundaan pembayaran gaji dan tidak memberikannya kecuali dengan usaha
keras para pekerja dengan tujuan agar para pekerja melepaskan haknya dan tidak
menuntuk haknya kembali. Atau, ada yang bermaksud menggunakan upah pekerja
tersebut untuk usahanya dan mengelolanya, sedangkan si pekerja yang miskin
tersebut tidak memiliki bahan makanan untuk diri dan keluarganya.
Para
ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
pernah ditanya, “Ada seorang majikan yang tidak memberikan upah kepada para
pekerjanya dan baru memberinya ketika mereka akan safar ke negeri mereka, yaitu
setelah setahun atau dua tahun. Para pekerja pun ridho akan hal tersebut karena
mereka memang tidak terlalu sangat butuh pada gaji mereka (setiap bulan).”
Jawab
ulama Al Lajnah Ad Daimah, “Yang wajib adalah majikan memberikan gaji di akhir
bulan sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi jika
ada kesepakatan dan sudah saling ridho bahwa gaji akan diserahkan terakhir
setelah satu atau dua tahun, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المسلمون على شروطهم
“Kaum muslimin wajib mematuhi persyaratan yang
telah mereka sepakati.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 14: 390).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Upah
adalah istilah lain dari Gaji dan Honor. Upah atau gaji adalah suatu bentuk
pembayaran periodik dari seorang majikan kepada karyawan nya yang di nyatakan
dalam suatu kontrak kerja. Dari sudut pandang pelaksana bisnis, gaji dapat di
anggap sebagai biaya yang di butuhkan untuk mendapatkan sumber daya manusia
untuk menjalankan operasi, dan karenanya di sebut dengan biaya personel atau
biaya gaji bisa di sebut pula upah.
Berdasarkan
pada QS. Qashash ayat 26 dan QS. Ath-Thalaq ayat 6, seseorangboleh mengangkat
pekerja dan menjadi pekerja dan menjadi pekerja atas suatu pekerjaan. Pekerja
berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang telah diselesaikannya. Begitu juga
sebaliknya, pemberi pekerjaan memiliki kewajiban untuk membayar upah kepada
pekerja tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Suwiknyo,
Dwi. 2010. Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat
Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tuasikal, Muhammad Abduh. "Bayarkan Upah Sebelum
Keringat Kering". 17 Oktober 2015. http://rumaysho.com/3139-bayarkan-upah-sebelum-keringat-kering.html
"Hukum Menunda Gaji Pegawai". 20 Oktober
2015. http://pengusahamuslim.com/hukum-menunda-gaji-pegawai/
No comments:
Post a Comment