Pages

esok pasti ada tapi esok belum pasti

Monday, May 22, 2017

Makalah MAQOSHID SYAR'IYYAH



Makalah 
MAQOSHID SYAR'IYYAH 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa Syariah tidak menciptakan hukum-hukumnya dengan kebetulan, tetapi dengan Hukum-hukum itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Kita tidak dapat memahami Nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh Syara’ dalam menciptakan Nash-nash itu. petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya terhadap makna sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa makna yang ditarjihkan yang salah satu maknanya adalah mengetahui maksud Syara’.
Kaidah-kaidah pembentukan Hukum Islam ini, oleh Ulama Ushul diambil berdasarkan penelitian terhadap Hukum-hukum Syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat) pembentukannya diantara Nash-nash itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok pembentukannya secara keseluruhan seperti juga halnya wajib memelihara dasar-dasar dan pokok–pokok itu dalam mengistimbatkan hukum dari nash-nashnya, maka wajib pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya pembentukan hukum itu dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan pembentukan Hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada realisasi kemaslahatan manusia serta menegakkan keadilan diantara mereka.
Islam adalah ajaran yang sumbernya dari Tuhan,shalih likulli zaman wa makan, karena memang sifat dan tabiat ajaran Islam yang relevan dan realistis sepanjang sejarah peradaban dunia, kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang bisa dipakai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja mulai dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan ini. Hukum Islam dibuat untuk mencapai kemaslahatan manusia,tak terkecuali Hukum Islam yang diyakini bersumber dari Al-qur’an, Hadist ataupun imam-imam mazhab(fiqh).Semua Hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terkandung dalam teks-teks Syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut.Oleh para Ulama hal tersebut mereka istilahkan dengan Maqashid al-Syar’iyah.

B.     Rumusan Masalah
Mungkin bila kita berbicara tentang Maqashid Syariah, secara otomatis pikiran kita akan tertuju kepada seorang al-Syatibi Yang di anggap sebagai peletak dasar konsep Maqashid al-Syar’iyah. Maka dari itu dapat dirumuskan sebagai sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari Maqashid al-Syar’iyah?
2.      Apa macam-macam Maqashid al-Syar’iyah?
3.      Bagaimana peranan Maqashid al-Syar’iyah dalam pengembangan Hukum?

C.    Tujuan
1.      Dapat mengetahui pengertian dari Maqashid al-Syar’iyah.
2.      Dapat mengetahui macam-macam Maqashid al-Syar’iyah.
3.      Dapat mempelajari dan menerapkan peranan Maqashid al-Syar’iyah dalam pengembangan Hukum.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Maqashid al-Syar’iyah
Maqashid al-Syar’iyah Secara etimologi Maqashid al-Syar’iyah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan al-Syari`ah. Maqashid bentuk plural dari مقصد,قصد,مقصد, atau قصود yang merupakan derivasi dari kata kerja qashada yaqshudu dengan beragam makna seperti menuju arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas. Makna tersebut dapat dijumpai dalam penggunaan kata Qashada dan derivasinya dalam Al-quran. Sementara syari’ah secara etimologi bermakna الماضع تحدرالى الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[1]
Sedangkan Syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan Syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut Aqidah, Ibadah, Akhlak, maupun Muamalah. Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Syar’iyah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.[2]

B.     Macam-macam Maqashid al-Syar’iyah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid al- Dharuriyat).
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.

1)      Agama
Agama merupakan persatuan Aqidah, Ibadah, Hukum, dan Undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam Q.S al-Maidah ayat 3:
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam Q.S Asy-syura ayat 13:
’’Dan (karenanya) sempitlah dadaku dantidak lancar dadaku maka utuslah (jibril) kepada harun”.
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak meruska Aqidahnya, Ibadah-ibadah Akhlaknya atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam Q.S al-Baqarah ayat 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam);sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada hulu tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

2)      Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qishas (pembalasan yang seimbang), Diyat (denda) dan Kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :

1)     Q.S Al-Baqarah ayat 178-179
2)      Q.S al-an’am ayat 151
3)     Q.S Al-Isra’ ayat 31
4)      Q.S Al-Isra’ ayat 33
5)     Q.S An-Nisa ayat 92-93
6)      Q.S Al-Maidah ayat 32
Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu Q.S Al-Isra’ ayat 33:
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

3)      Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal.   
Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang dalam Q.S An-Nahl ayat 66-69:
66. “Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
67.  Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
68.  Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia,
69.  Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.

4)      Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.

5)      Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai Mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai dll.[3]

b. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat).
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yang dapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yang menyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah Hukum dalam berbagai Ibadah, Muamalah, dan Uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum Rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum Azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (Tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, Syirkah (perseroan), Mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.

c. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini).
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan bersuci (Thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (Tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma (Infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut.[4]

C.    Peranan Maqashid al-Syar’iyah Dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang Maqashid al-Syar’iyah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.[5]
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqashid al-Syar’iyah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan Maqashid al-Syar’iyah -nya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah: 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa Maqashid al-Syar’iyah dari diharamkannya minuman khamar ialah sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘iilat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (Qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘iilat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan Qiyas (analogi). Artinya, Qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat mengqiyaskannya yang dikenal dengan al mawis ‘alaih (tempat meng- Qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih, tetapi termasuk dalam tujuan syariat secara umum seperti untuk memelihara sekurangnya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan di atas tadi, dalam hal ini dilakukan metode Maslahah Mursalah. Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan atau tidak dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan hukum yang dikenal Maslahah Mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya dalam Nash atau melalui Qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan Istihsan. Metode penetapan hukum melalui Maqashid al-Syar’iyah dalam praktik – praktik Istinbat tersebut, yaitu praktik Qiyas, Istihsan, dan Istislah (malsahah mursalah), dan lainnya seperti Istishab, Sad al-zari’ah. dan ‘Urf (adat kebiasaan), di samping dissebut sebagai metode penetapan hukum melalui Maqashid al-Syar’iyah, juga oleh sebagian besar Ulama Ushul Fiqh disebut sebagai dalil – dalil pendukung, seperti telah diuraikan secara singkat pada pembahasan dalil – dalil hukum di atas. Di bawah ini akan dijelaskan tentang metode – metode yang berdasarkan atas Maqashid al-Syar’iyah.
1.      Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz I : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut akalnya”.[6]
Fuqaha Hanafiyah membagi istihsan menjadi dua macam yaitu :
a.       Pentarjihan Qiyas khafi (yang tersembunyi) atas Qiyas jali (nyata).
Seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak perairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf tanpa harus menyebutkannya berdasarkan istihsan.
b.       Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Apabila penjual dan pembeli bersengketa mengenai jumlah harga sebelum serah terima yang dijual, kemudian penjual mengaku bahwa harganya adalah seratus juta, dan pembeli mengaku harganya sembilan puluh juta, maka mereka berdua bersumpah berdasarkan istihsan.[7]
2.      Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi tidak ada juga pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan maslahah mursalah. Tujuan utama maslahah mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya.[8]

D.    Penerapan Al-Maslahah Sebagai Dalil dan Metodologi Istinbat Hukum
Sudah kita ketahui bahwasannya jenis-jenis al-maslahah ada tiga macam, yaitu: dhoruriyyah, hajiyah dan tahnisiyyah. Dari ketiga macam tersebut muncul beberapa mabadi / prinsip-prinsip bersifat global yang telah dijadikan metode para ahli fiqh dalam mencari istinbat Hukum. Dibawah ini adalah contoh dari prinsip-prinsip di atas:
1.       Ad-dhororu yuzaalu
wajib menghilangkan kerusakan yang telah terjadi"
Contoh: disyari’atkan konsep khiyar bagi akad yang memiliki kerusakan seperti khiyar terhadap barang yang memiliki aib, begitu juga diwajibkan berobat bagi yang sakit.
2.    Darul mafaasid awlaa min jalbil al-manaafi
menolak terjadinya kerusakan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahah”
Contoh: diharamkan menjual semua jenis khamr walaupun dapat memberi keuntungan ekonomi.
3.    Ad-dhoruuroot tubikhu al-makhdzurot
dalam keadaan gawat darurat, diperbolehkan untuk melakukan hal yang dilarang”
Contoh: diperbolehkan bagi orang yang kelaparan di hutan belantara untuk memakan bangkai atau barang yang diharamkan syara’ demi keberlangsungan hidupnya.

E.     Norma-Norma Hukum Maqashid al-Syar’iyah
Pembahasannya pada perbuatan – perbuatan yang berkategori mubah, yang baik dilakukan ataupun tidak sama – sama diperbolehkan, dan tidak mengakibatkan pahala maupun dosa. Syatibi mengembangkan sebuah penjelasan dan taksonomi baru mengenai mubah. Menurutnya perbuatan – perbuatan yang termasuk mubah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yang masing – masing terbagi lagi menjadi dua sub – kategori.
Pertama adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika perbuatan itu menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam skala yang lebih luas, maka akan mejadi mandub atau wajib. Kedua adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika perbuatan itu merugikan dalam skala yang lebih luas, maka perbuatan tersebut menjadi makruh atau haram.Dari dua pembagian ini kemudian memunculkan empat sub kategori, yaitu :
1.      Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun secara keseluruhan bisa menjadi mandub.
2.      Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dala skala luas dapat menjadi wajib.
3. Perbuatan yang pada dasarnya mubah tetapi dalam skala besar dapat menjadi makruh.
4. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dalam kerangka yang lebih luas dapat menjadi haram.
Jadi, garis yang membedakan antara perbuatan mubah yang diperbolehkan atau tidak adalah karena kadar dan frekuensi perbuatan tersebut. Perbuatan – perbuatan yang mandub dan makruh dapat dianalisa dengan pembagian yang serupa. Sebuah perbuatan yang berstatus mandub, tetapi dalam kerangka yang luas yaitu universal dan dilakukan secara rutin akan menjadi wajib. Demikian pula halnya dengan perbuatan yang dipandang makruh apabila dilakukan sekadarnya saja, akan menjadi haram ketika terlalu sering dilakukannya.
Syatibi kemudian menambahkan norma yang kemudian dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hukum. Norma ini juga memperkuat dua norma lain yaitu mandub dan makruh dan memperkenankan penyimpangan dan toleransi dalam hukum. Syatibi kemudian menyebut norma ini sebagai ‘afw, sebuah knsep yang mewakili sesuatu yang belum atau tidak memiliki status hukum atau yang telah memiliki status hukum, tetapi dalam hal telah memiliki status hukum, orang yang mengerjakannya tidak tahu atau lupa akan status hukum perbuatan tersebut. Sebuah sejarah yang bermula dari hadis nabi ‘afw : “orang yang paling bersalah adalah orng yang menanyakan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak dilarang, kemudian menjadi dilarang setalah dinyatakan status hukumnya”.
Maksud dari hadis tersebut adalah bahwa selama sebuah perbuatan tidak memiliki status hukum yang jelas, maka perbuatan itu termasuk yang tidak berstatus hukum. Jika suatu masalah belum memiliki status hukum, maka seorang muslim selama ia tidak meminta pandangan seorang ahli hukum, boleh melakukannya tanpa memperoleh pahala atau dosa.
Dalam masalah – masalah dimana norma hukum telah ditetapkan, ‘afw berarti menjadikan dosa, apapun masalahnya selama ada alasan yang kuat untuk itu. Melakukan sebuah perbuatan yang dilarang karena lupa tidak mengakibatkan dosa.
Yang termasuk juga dalam kategori ini adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakannya. Dalam hal ini ketentuan yang berlaku yang dikenal dengan ‘Azimah dan Rukhsa. Diperbolehkannya menggunakan rukhsa karena adanya kebutuhan yang mendesak, namun dalam menghilangkan kesulitan bukan hanya berdasarkan kebutuhan yang mendesak tetapi juga karena ketidakmampuan pada kondisi – kondisi yang tidak memungkinkan.[9]















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kata Maqashid al-Syar’iyah itu terdiri dari dua pengertian yaitu kata Maqashid dan kata al-Syar’iyah Maqashid bentuk plural dari مقصد,قصد,مقصد, atau قصود yang merupakan derivasi dari kata kerja qashada yaqshudu dengan beragam makna seperti menuju arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas. Sedangkan syari’ah secara etimologi bermakna الماضع تحدرالى الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan dan Syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid al- Dharuriyat).
b. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat).
c. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini).
Pengetahuan tentang Maqashid al-Syar’iyah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan, Jika yang akan diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya dalam Nash atau melalui Qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut.
B.     Saran
Diharapkan bagi kalangan mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya untuk mengetahui Hukum-hukum yang bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum dan kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang bisa dipakai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja mulai dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan ini.


[1] prof Dr.Abd A’la,Ma,fiqh minoritas(Yogyakarta:Penerbit PT.LKiS Yogyakarta 2010).
[2] Hasbi mar,Nalar Fiqh(Jakarta:Gaung Persada,2007) hal 120.
[3] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara, Jakarta, 1992, hlm 67-101
[4] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 333-343.
[5] Satria Effendi, M. Zein. Ushul fiqh (Jakarta : Gramedia, 2004),hlm.237.
[6] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.111.
[7] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hlm.110.
[8] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.117.
[9] Wael b Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: Grafindo, 2000), hlm.260.

No comments:

Post a Comment