Makalah
MAQOSHID SYAR'IYYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa Syariah
tidak menciptakan hukum-hukumnya dengan kebetulan, tetapi dengan Hukum-hukum
itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Kita tidak dapat
memahami Nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh Syara’
dalam menciptakan Nash-nash itu. petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya
terhadap makna sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa makna yang
ditarjihkan yang salah satu maknanya adalah mengetahui maksud Syara’.
Kaidah-kaidah
pembentukan Hukum Islam ini, oleh Ulama Ushul diambil berdasarkan penelitian
terhadap Hukum-hukum Syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat)
pembentukannya diantara Nash-nash itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar
pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok pembentukannya secara
keseluruhan seperti juga halnya wajib memelihara dasar-dasar dan pokok–pokok
itu dalam mengistimbatkan hukum dari nash-nashnya, maka wajib pula memelihara
dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya
pembentukan hukum itu dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan pembentukan
Hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada realisasi kemaslahatan manusia serta
menegakkan keadilan diantara mereka.
Islam adalah
ajaran yang sumbernya dari Tuhan,shalih likulli zaman wa makan, karena
memang sifat dan tabiat ajaran Islam yang relevan dan realistis sepanjang
sejarah peradaban dunia, kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang
bisa dipakai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja mulai
dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan
panjang kehidupan ini. Hukum Islam dibuat untuk mencapai kemaslahatan
manusia,tak terkecuali Hukum Islam yang diyakini bersumber dari Al-qur’an,
Hadist ataupun imam-imam mazhab(fiqh).Semua Hukum, baik yang berbentuk perintah
maupun yang berbentuk larangan, yang terkandung dalam teks-teks Syariat
bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai
maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu
atas maksud dan tujuan tersebut.Oleh para Ulama hal tersebut mereka istilahkan
dengan Maqashid al-Syar’iyah.
B.
Rumusan Masalah
Mungkin bila
kita berbicara tentang Maqashid Syariah, secara otomatis pikiran kita akan
tertuju kepada seorang al-Syatibi Yang di anggap sebagai peletak dasar konsep
Maqashid al-Syar’iyah. Maka dari itu dapat dirumuskan sebagai sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dari Maqashid al-Syar’iyah?
2.
Apa macam-macam Maqashid al-Syar’iyah?
3.
Bagaimana peranan Maqashid al-Syar’iyah dalam pengembangan Hukum?
C.
Tujuan
1.
Dapat mengetahui pengertian dari Maqashid al-Syar’iyah.
2.
Dapat mengetahui macam-macam Maqashid al-Syar’iyah.
3.
Dapat mempelajari dan menerapkan peranan Maqashid al-Syar’iyah
dalam pengembangan Hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqashid al-Syar’iyah
Maqashid
al-Syar’iyah Secara
etimologi Maqashid al-Syar’iyah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan
al-Syari`ah. Maqashid bentuk plural dari مقصد,قصد,مقصد, atau قصود yang merupakan
derivasi dari kata kerja qashada yaqshudu dengan beragam makna seperti menuju
arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas. Makna tersebut
dapat dijumpai dalam penggunaan kata Qashada dan derivasinya dalam Al-quran.
Sementara syari’ah secara etimologi bermakna الماضع تحدرالى الماء artinya Jalan
menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju
sumber kehidupan.[1]
Sedangkan Syariah
menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia
harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya
bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud
dengan Syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya
baik yang menyangkut Aqidah, Ibadah, Akhlak, maupun Muamalah. Jadi, dari
defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Syar’iyah
adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.[2]
B.
Macam-macam Maqashid al-Syar’iyah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Syariat yang
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid
al- Dharuriyat).
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami
uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal,
kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing
lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya.
lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.
1) Agama
Agama merupakan persatuan Aqidah, Ibadah, Hukum, dan Undang-undang yang
telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya (hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan
horizontal). agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan
sempurna seperti yang dinyatakan dalam Q.S al-Maidah ayat 3:
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu”.
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang
harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti
perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya
dalam Q.S Asy-syura ayat 13:
’’Dan (karenanya) sempitlah dadaku dantidak lancar dadaku maka utuslah
(jibril) kepada harun”.
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab yang hendak meruska Aqidahnya, Ibadah-ibadah Akhlaknya atau
yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan
aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan kebebasan
bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama
yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama
islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam Q.S
al-Baqarah ayat 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam);sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada hulu tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
2) Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qishas
(pembalasan yang seimbang), Diyat (denda) dan Kafarat (tebusan)
sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan
pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh
mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh
tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan
perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist
dari nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :
1) Q.S Al-Baqarah ayat 178-179
2) Q.S al-an’am ayat 151
3) Q.S Al-Isra’ ayat 31
4) Q.S Al-Isra’ ayat 33
5) Q.S An-Nisa ayat 92-93
6) Q.S Al-Maidah ayat 32
Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi
di dunia, yaitu Q.S Al-Isra’ ayat 33:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.
dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas
dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
3) Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk
ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik
bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal.
Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis
menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya
atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal
dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik
pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang
ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang dalam Q.S An-Nahl ayat
66-69:
66. “Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam
perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan
bagi orang-orang yang meminumnya.
67. Dan dari buah korma dan anggur,
kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang
memikirkan.
68. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada
lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat
yang dibikin manusia,
69. Kemudian makanlah dari tiap-tiap
(macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu).
dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan”.
4) Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan
mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini,
sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua
manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir
dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak
hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang
dapat membawa pada zina.
5) Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam
juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada
harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur
supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam
mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai Mu’amalat seperti jual beli, sewa
menyewa, gadai menggadai dll.[3]
b. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder
manusia (Maqashid al-Hajiyat).
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada
sesuatu yang dapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yang menyulitkan
mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi
mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah Hukum dalam berbagai
Ibadah, Muamalah, dan Uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan
menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum Rukhsoh
(keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada
kesullitan dalam melaksanakan hukum Azimah (kewajiban). contoh,
diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit
atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak)
dan urusan (Tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli,
Syirkah (perseroan), Mudharobah (berniaga dengan harta orang
lain) dll.
c. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan
pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini).
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam
mensyariatkan bersuci (Thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang
dapat menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (Tathawwu’),
maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib
baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang
dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma (Infaq), dianjurkan agar infaq dari
hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang
disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan
sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang
memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut.[4]
C. Peranan
Maqashid al-Syar’iyah Dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang Maqashid al-Syar’iyah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat
penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan
Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting
lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh
Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.[5]
Metode istinbat, seperti
qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode
pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqashid al-Syar’iyah. Qiyas, misalnya,
baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan Maqashid al-Syar’iyah -nya
yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh,
tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah: 90). Dari hasil
penelitian ulama ditemukan bahwa Maqashid al-Syar’iyah dari
diharamkannya minuman khamar ialah sifat memabukkannya yang merusak akal
pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘iilat) dari
keharaman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri
hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat
dikembangkan dengan metode analogi (Qiyas) bahwa setiap yang sifatnya
memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘iilat hukum dalam suatu
ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan Qiyas (analogi).
Artinya, Qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang
secara khusus dapat dijadikan tempat mengqiyaskannya yang dikenal dengan al
mawis ‘alaih (tempat meng- Qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat
atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih, tetapi
termasuk dalam tujuan syariat secara umum seperti untuk memelihara sekurangnya
salah satu dari kebutuhan-kebutuhan di atas tadi, dalam hal ini dilakukan
metode Maslahah Mursalah. Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang dianggap maslahat
bila sejalan atau tidak dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui
sebagai landasan hukum yang dikenal Maslahah Mursalah.
Jika yang akan
diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya dalam Nash atau melalui
Qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan
akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan
lebih layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat
ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan
Istihsan. Metode penetapan hukum melalui Maqashid al-Syar’iyah dalam
praktik – praktik Istinbat tersebut, yaitu praktik Qiyas, Istihsan, dan
Istislah (malsahah mursalah), dan lainnya seperti Istishab, Sad
al-zari’ah. dan ‘Urf (adat kebiasaan), di samping dissebut sebagai
metode penetapan hukum melalui Maqashid al-Syar’iyah, juga oleh sebagian
besar Ulama Ushul Fiqh disebut sebagai dalil – dalil pendukung, seperti telah
diuraikan secara singkat pada pembahasan dalil – dalil hukum di atas. Di bawah
ini akan dijelaskan tentang metode – metode yang berdasarkan atas Maqashid
al-Syar’iyah.
1.
Istihsan
Secara harfiyah,
istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan
menganggapnya kebaikan. Menurut al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz I :
137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut
akalnya”.[6]
Fuqaha Hanafiyah
membagi istihsan menjadi dua macam yaitu :
a. Pentarjihan Qiyas
khafi (yang tersembunyi) atas Qiyas jali (nyata).
Seorang pewakaf apabila
mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak
perairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf tanpa harus
menyebutkannya berdasarkan istihsan.
b.
Pengecualian kasuistis (juz’iyyah)
dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Apabila penjual dan
pembeli bersengketa mengenai jumlah harga sebelum serah terima yang dijual,
kemudian penjual mengaku bahwa harganya adalah seratus juta, dan pembeli mengaku
harganya sembilan puluh juta, maka mereka berdua bersumpah berdasarkan
istihsan.[7]
2.
Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah
adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi tidak ada juga
pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan
tidak ada ‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum
kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’,
yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk
menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan maslahah mursalah.
Tujuan utama maslahah mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari
kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya.[8]
D. Penerapan Al-Maslahah Sebagai Dalil dan Metodologi Istinbat Hukum
Sudah kita ketahui bahwasannya jenis-jenis al-maslahah ada tiga macam,
yaitu: dhoruriyyah, hajiyah dan tahnisiyyah. Dari ketiga macam tersebut muncul
beberapa mabadi / prinsip-prinsip bersifat global yang telah dijadikan metode
para ahli fiqh dalam mencari istinbat Hukum. Dibawah ini
adalah contoh dari prinsip-prinsip di atas:
1.
Ad-dhororu yuzaalu
“wajib menghilangkan kerusakan yang
telah terjadi"
Contoh: disyari’atkan konsep khiyar bagi
akad yang memiliki kerusakan seperti khiyar terhadap barang yang memiliki aib,
begitu juga diwajibkan berobat bagi yang sakit.
2. Darul mafaasid
awlaa min jalbil al-manaafi
“menolak terjadinya kerusakan itu lebih
diutamakan daripada mendatangkan maslahah”
Contoh: diharamkan menjual semua jenis
khamr walaupun dapat memberi keuntungan ekonomi.
3. Ad-dhoruuroot
tubikhu al-makhdzurot
“dalam keadaan gawat darurat, diperbolehkan
untuk melakukan hal yang dilarang”
Contoh: diperbolehkan bagi orang yang
kelaparan di hutan belantara untuk memakan bangkai atau barang yang diharamkan
syara’ demi keberlangsungan hidupnya.
E. Norma-Norma Hukum
Maqashid al-Syar’iyah
Pembahasannya pada perbuatan
– perbuatan yang berkategori mubah, yang baik dilakukan ataupun tidak sama –
sama diperbolehkan, dan tidak mengakibatkan pahala maupun dosa. Syatibi
mengembangkan sebuah penjelasan dan taksonomi baru mengenai mubah. Menurutnya
perbuatan – perbuatan yang termasuk mubah dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian yang masing – masing terbagi lagi menjadi dua sub – kategori.
Pertama adalah
perbuatan yang dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika perbuatan itu
menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam skala yang lebih luas, maka akan mejadi
mandub atau wajib. Kedua adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus
mubah, namun ketika perbuatan itu merugikan dalam skala yang lebih luas, maka
perbuatan tersebut menjadi makruh atau haram.Dari dua pembagian ini kemudian
memunculkan empat sub kategori, yaitu :
1. Perbuatan yang pada
dasarnya mubah namun secara keseluruhan bisa menjadi mandub.
2. Perbuatan yang pada
dasarnya mubah namun dala skala luas dapat menjadi wajib.
3. Perbuatan yang pada dasarnya mubah tetapi dalam skala besar dapat
menjadi makruh.
4. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dalam kerangka yang lebih luas
dapat menjadi haram.
Jadi, garis yang
membedakan antara perbuatan mubah yang diperbolehkan atau tidak adalah karena
kadar dan frekuensi perbuatan tersebut. Perbuatan – perbuatan yang mandub dan
makruh dapat dianalisa dengan pembagian yang serupa. Sebuah perbuatan yang
berstatus mandub, tetapi dalam kerangka yang luas yaitu universal dan dilakukan
secara rutin akan menjadi wajib. Demikian pula halnya dengan perbuatan yang
dipandang makruh apabila dilakukan sekadarnya saja, akan menjadi haram ketika
terlalu sering dilakukannya.
Syatibi kemudian
menambahkan norma yang kemudian dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari
hukum. Norma ini juga memperkuat dua norma lain yaitu mandub dan makruh dan
memperkenankan penyimpangan dan toleransi dalam hukum. Syatibi kemudian menyebut
norma ini sebagai ‘afw, sebuah knsep yang mewakili sesuatu yang belum atau
tidak memiliki status hukum atau yang telah memiliki status hukum, tetapi dalam
hal telah memiliki status hukum, orang yang mengerjakannya tidak tahu atau lupa
akan status hukum perbuatan tersebut. Sebuah sejarah yang bermula dari hadis
nabi ‘afw : “orang yang paling bersalah adalah orng yang menanyakan tentang
sesuatu yang sebelumnya tidak dilarang, kemudian menjadi dilarang setalah
dinyatakan status hukumnya”.
Maksud dari hadis
tersebut adalah bahwa selama sebuah perbuatan tidak memiliki status hukum yang
jelas, maka perbuatan itu termasuk yang tidak berstatus hukum. Jika suatu
masalah belum memiliki status hukum, maka seorang muslim selama ia tidak
meminta pandangan seorang ahli hukum, boleh melakukannya tanpa memperoleh
pahala atau dosa.
Dalam masalah – masalah
dimana norma hukum telah ditetapkan, ‘afw berarti menjadikan dosa, apapun
masalahnya selama ada alasan yang kuat untuk itu. Melakukan sebuah perbuatan
yang dilarang karena lupa tidak mengakibatkan dosa.
Yang termasuk juga
dalam kategori ini adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan ketidakmampuan
seseorang untuk melaksanakannya. Dalam hal ini ketentuan yang berlaku yang
dikenal dengan ‘Azimah dan Rukhsa. Diperbolehkannya menggunakan
rukhsa karena adanya kebutuhan yang mendesak, namun dalam menghilangkan
kesulitan bukan hanya berdasarkan kebutuhan yang mendesak tetapi juga karena
ketidakmampuan pada kondisi – kondisi yang tidak memungkinkan.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata Maqashid
al-Syar’iyah itu terdiri
dari dua pengertian yaitu kata Maqashid dan kata al-Syar’iyah Maqashid
bentuk plural dari مقصد,قصد,مقصد,
atau قصود yang merupakan derivasi dari kata kerja qashada yaqshudu dengan
beragam makna seperti menuju arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak
melampaui batas. Sedangkan syari’ah secara etimologi bermakna الماضع تحدرالى الماء artinya Jalan
menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju
sumber kehidupan dan Syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan
Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan
kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Syariat yang
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid
al- Dharuriyat).
b. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder
manusia (Maqashid al-Hajiyat).
c. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan
pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini).
Pengetahuan
tentang Maqashid al-Syar’iyah, seperti
ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat
dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan
dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk
menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah
secara kajian kebahasaan, Jika yang akan
diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya dalam Nash atau melalui
Qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan
akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan
lebih layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat
ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut.
B.
Saran
Diharapkan bagi
kalangan mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya untuk mengetahui Hukum-hukum yang bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum dan kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang bisa dipakai
kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja mulai dibukanya lembaran
awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan
ini.
[1] prof Dr.Abd
A’la,Ma,fiqh minoritas(Yogyakarta:Penerbit PT.LKiS Yogyakarta 2010).
[2] Hasbi mar,Nalar
Fiqh(Jakarta:Gaung Persada,2007) hal 120.
[3] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara,
Jakarta, 1992, hlm 67-101
[4] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah
Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm
333-343.
[5] Satria
Effendi, M. Zein. Ushul fiqh (Jakarta : Gramedia, 2004),hlm.237.
[6] Juhaya S.
Praja, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.111.
[7] Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hlm.110.
[8] Juhaya S.
Praja, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.117.
[9] Wael b Hallaq,
Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: Grafindo, 2000), hlm.260.
No comments:
Post a Comment