Makalah
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (KAEDAH FIQHIYYAH)
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Kaidah-kaidah fiqih
yang ada dalam khazanah keilmuan al-qawaid a- fiqihiyyah pada dasarnya
tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya
diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan
vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang
memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan
hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di
dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang
menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari
Allah.
Beberapa kaidah yang
bersifat individu diantaranya kaidah tentang niat (al umuuru biaqashidiha),
al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut
merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang
akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu
pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak
pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqih siyasah.
Seperti yang diketahui
bahwa fiqih siyasah adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai kekuasaan
dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila disederhanakan, fiqih
siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum
Internasional. Apabila dilihat dari
sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan
pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau
antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun
internasional.[1]
Dalam analisis mengenai
kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul
imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat).
Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan arah dari
konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena itu, hal pokok yang
menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep
maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan
kepada sebuah munculnya kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin.
Ketika kita memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun
bi al malahat yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya
memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan
gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah
tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan).
Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep
kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu
kebijakan
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana definisi
kepemimpinan dalam islam ?
b. Bagaimana konsep kaidah
tasharruful imam ‘ala ra’iyyah manutun bi almaslahat ?
c. Bagaimana kriteria dan
batasan maslahat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep kaidah
tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al maslahah
Sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa kaidah ini merupakan kaidah (fikih) yang mempunyai
aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara
seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui
makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al
ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah)
kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
Lebih jauh dari sekedar
pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah segala
aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau
golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme musyawarah. Hal ini sebagai
terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek
kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil untuk
mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga
ditekankan dalam firman Allah QS. As Syura ayat 38 yang berbunyi;
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ
شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)
Artinya: Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
Sebuah contoh yang bisa
dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya asas tersebut adalah apa yang
dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; “sungguh
aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali
anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam
kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.[2]
Kaidah ini menegaskan
bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan
mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau
kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. An-nisa ayat 58 yang berbunyi;
إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ......
Artinya: Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil
تَصَرُّفُ
الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan pemimpin atas rakyat (nya) dikaitkan
dengan kemaslahatan”.
Kaidah ini berarti bahwa,
benar dan tidaknya kebijakan pemerintah dalam pandangan syari’at Islam
bergantung pada maslahat atau tidaknya kebijakan itu pada rakyat, jika maslahat
benar bagi rakyat maka benar, dan jika tidak maslahat maka tidak benar. Kebijakan
itu dikaitkan dengan kemaslahatan, karena pemimpin bekerja tidak untuk dirinya,
melainkan sebagai wakil dari rakyat. Imam Syafi’i mengungkapkan,
مَنْزِلَةُ
اْلإِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ مَنْزِلَةُ اْلوَلِيِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
“Posisi pemimpin dari rakyatnya sama dengan
posisi pengasuh anak yatim dari anak yatim asuhannya.”
Kaidah di atas mengacu kepada ungkapan
Sayyidina Umar yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur di dalam kitab
Sunan-nya dari al-Barra’ bin ‘Azib,
إنِّي
أَنْزَلَتْ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِيِّ الْيَتِيمِ، إنِ
احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ بِالْمَعْرُوفِ،
فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ، فَإِنِ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ
“Aku memosisikan diriku dari harta Allah (harta
publik) seperti posisi pengasuh anak yatim (dari harta anak yatim), kalau aku
butuh maka aku mengambilnya dengan cara yang baik, kemudian bila aku mampu aku
mengembalikannya, dan jika aku tidak butuh maka aku menahan diri (dari
mengambilnya).”
Secara umum sesunguhnya
kaidah ini sudah termasuk dalam kandungan Hadist Nabi SAW :
كلكم راع وكلكم مسؤل عن
رعيت
“Masing-masing
dari kamu adalah penggembala, dan tiap-tiap penggembala
dimintai pertanggung jawaban atas penggembalaannya”.
Lapangan pelaksana
kaidah ini adalah dalam bidang – bidang yang menyangkut bidang pemerintahdan
kebijaksanaan dalam hubungannya dengan rakyat, sehingga memberikan pengertian
bahwa setiap tindakan atau kebijaksanaan yang menyangkut dan mengenai hak – hak
rakyat harus dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditunjukan untuk mendatangkan
suatu kebaikan. Dengan demikian tindakan penguasa yang hanya sekedar menuruti
hawa nafsu serta kesenangan sendiri dan tidak membawa kebaikan pada rakyat
adalah tidak dibenarkan.
Imam yang
dimaksud di atas bukan hanya pemimpin tertinggi seperti khalifah dan presiden,
tapi mencakup semua orang yang memiliki otoritas, misalnya gubernur, bupati,
anggota DPR, dan sebagainya. Mereka semua adalah pemegang amanat dari rakyat,
maka harus bekerja demi kemaslahatan rakyat.
Kemaslahatan
dalam bahasa Indonesia searti dengan kebaikan, kemanfaatan dan kepentingan. Ulama
ushul fiqh membagi kemaslahatan ke dalam tiga bagian, yaitu:
1.
Mashlahah
Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang diapresiasi dan
diperhatikan oleh syari’(pembuat syari’at, Allah swt.). Bukti bahwa
suatu kemaslahatan itu diapresiasi dan diperhatikan syari’ adalah
adanya ketentuan hukum syar’i di dalam Al-qur’an dan/
al-Sunnah yang berorientasi mewujudkan kemaslahatan dimaksud, seperti
diwajibkannya shalat lima waktu, dianjurkannya shalat-shalat sunnah,
diharamkannya perzinahan, pencurian, dan miras.
2.
Mashlahah
Mulghah, yakni kemaslahatan yang diabaikan dan tidak
dipergunakan olehsyari’. Bukti bahwa suatu kemaslahatan diabaikan
oleh syari’ ialah adanya aturan syar’i di
dalam Al-qur’an dan/ al-Sunnah yang bertolak belakang dengan apa yang dianggap
maslahat itu. Dengan kata lain, mashlahah mulghah adalah
kemaslahatan yang bertentangan dengan syari’at, seperti berpakaian rok
mini–yang menurut sebagian orang perempuan dianggap sebagai kemaslahatan
estetis– bertentangan dengan aturan syari’at yang mewajibkan perempuan menutup
seluruh tubuhnya, selain wajah dan telapak tangan.
3.
Mashlahah
Mursalah, yakni kemaslahatan yang lepas dari sorotan
dalil, dalam arti tidak ada dalil yang secara langsung dan spesifik dijadikan
dasar bahwa mashlahah dimaksud diperhatikan atau diabaikan,
seperti dikumpulkannya Al-qur’an dalam satu mushaf, pengadaan rumah
sakit dan lembaga kemasyarakatan, pemberian gaji yang cukup, dan sebagainya.
Kemaslahatan yang harus dijadikan
pijakan pemimpin dalam membuat kebijakan adalah mashlahah mu’tabarah dan
mashlahah mursalah, sedangkan mashlahah mulghah tidak boleh dijadikan pijakan
karena telah dikesampingkan oleh syari’. Kebijakan pemimpin di sini
menyangkut dua hal pokok yang memang menjadi tugas pokok pemimpin sebagai
pelanjut misi kenabian, yakni menjaga Agama dan mengatur dunia. Akan tetapi,
berhubung syari’ tidak banyak menangani langsung persoalan
teknis, maka persoalan siyasah (kebijakan politik) lebih
banyak mengacu kepada mashlahah mursalah dari pada mashlahah
mu’tabarah. Maka, yang penting bagi pemimpin ialah bagaimana
kebijakannya tidak bertabrakan dengan aturan syari’at, meski tidak jelas-jelas
diambil dari sumber hukum syar’iy, Al-qur’an dan al-Sunnah.
Ibnu ‘Aqil al-Hanbaliy menjelaskan arti siyasah dengan definisi sebagai
berikut:
السِّيَاسَةُ مَا كَانَ فِعْلًا يَكُونُ مَعَهُ
النَّاسُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ ، وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ
يَضَعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَا نَزَلَ بِهِ
وَحْيٌ
“Siyasah adalah
setiap aktifitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan jauh dari
kerusakan, meskipun tidak ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan tidak didasarkan
pada wahyu.”
B. Kriteria Pemimpin
Adapun
kriteria pemimpin itu sendiri, yakni:
a. Pemimpin yang mukmin.
b. Tegas dalam menjalankan perintah Tuhan.
c. Takut kepada Allah swt sewaktu mengurusi orang-orang yang
dipimpinnya.
d. Tidak menzalimi siapapun.
e. Tidak memerkosa hak-hak orang lain.
f. Menegakkan dan bukan melecehkan hudud Allah swt.
g. Membahagiakan rakyatnya dengan mengharap rida Allah swt.
h. Orang kuat di sisinya menjadi
lemah sehingga si lemah dapat mengambil kembali haknya yang direbut si kuat.
i. Orang lemah di sisinya menjadi kuat sehingga haknya dapat
terlindungi.
j. Menampakkan kepatuhan kepada Allah swt dalam menetapkan
kebijakan yang
berhubungan dengan hajat hidup orang
banyak sehingga dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya merasa bahagia.
k. Semua orang hidup aman dan tenteram.
l. Sangat mencintai manusia, begitu pula sebaliknya.
m. selalu mendoakan manusia, begitu pula sebaliknya.
Kriteria
di atas menjadi indikator bagi pemimpin yang terbaik dan termulia di sisi Allah
SWT dan manusia.
C. Kepemimpinan Dalam Islam
Dalam ajaran agam Islam, hadits nabi
menyebutkan bahwa setiap manusia adalah seorang pemimpin, apakah ia sebagai
kepala keluarga, sebagai imam suatu umat, seorang wanita yang kedudukannya
sebagai ibu rumah tangga dan bahkan seorang pembantu sekalipun ia adalah
seorang pemimpin.
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi
yang berbunyi :Artinya : Abu Nu’man menceritakan hadits kepada kami, Hammad
ibnu Zaid menceritakan hadits kepada kami dari Ayyub, dari Nafi’, dari Abdillah
berkata: Rasulullah SAW. Bersabda “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu
akan dimintai pertanggungjawaban.
Berbicara tentang kepemimpinan dalam
pandangan agama Islam, maka kita akan merujuk terhadap pribadi dan pola
kepemimpinan yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW. yang lebih dikenal dengan
istilah uswatun khasanah yang artinya teladan yang mulia atau baik. Keteladanan
nabi muhammad SAW.
Beliau dengan sangat teliti dan
hati-hati mencontohkan semua perbuatan baik dan menjauhkan diri dari melakukan
perbuatan buruk dengan sangat teliti dan jelas.
Sesungguhnya banyak hal yang bisa dijabarkan dari sifat Rasulullah SAW namun semoga 4 sifat teladan ini sungguh menjelaskan betapa sifat kepempimpinan beliau mengakar kepada kita walau beliau telah wafat beberapa abad yang lalu, sifat kepemimpinan beliau disegani kawan dan dihormati lawan sekalipun.
Sesungguhnya banyak hal yang bisa dijabarkan dari sifat Rasulullah SAW namun semoga 4 sifat teladan ini sungguh menjelaskan betapa sifat kepempimpinan beliau mengakar kepada kita walau beliau telah wafat beberapa abad yang lalu, sifat kepemimpinan beliau disegani kawan dan dihormati lawan sekalipun.
1. Shiddiq (Jujur). Ini adalah sifat kejujuran yang
sangat ditekankan Rasul baik kepada dirinya maupun pada para sahabat-sahabatnya
(Semoga kita juga meneladaninya).Adalah ciri seorang muslim untuk jujur.
Sehingga Islam bukan saja menjadi sebuah agama namun juga peradaban besar.
2.Amanah(bisa dipercaya). Sifat ini ditanamkan
khususnya kepada para sahabat yang ditugaskan di semua hal apa saja untuk bisa
berbuat amanah, tidak curang (atau juga korupsi di zaman sekarang) dalam hal
apa saja. Sesuatu yang sekarnag menjadi sangat langka di negeri muslim
sekalipun (miris).
3. Tabligh (Menyampaikan yang benar). Ini adalah
sebuah sifat Rasul untuk tidak menyembunyikan informasi yang benar apalagi
untuk kepentingan umat dan agama. Tidak pernah sekalipun beliau menyimpan
informasi berharga hanya untuk dirinya sendiri. Subhanallah.
4. Fathonah (Cerdas).Sifat Pemimpin adalah cerdas dan mengetahui dengan jelas apa akar permasalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambbil untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat. Dengan mengenal beberapa sifat tadi, kita mungkin bisa sedikit mengerti kenapa Seorang Rasulullah yang ummi (tidak bisa membaca) mampu menjadi seorang Nabi, Rasul,Kepala Keluarga, Ayah, Suami, Imam Shalat, Pimpinan Umat, Pimpinan Perang menjadi sangat sukses dalam setiap hal yang beliau geluti. Semoga menjadi landasan bagi kita dan para pemimpin muslim untuk mampu meneladani apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
4. Fathonah (Cerdas).Sifat Pemimpin adalah cerdas dan mengetahui dengan jelas apa akar permasalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambbil untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat. Dengan mengenal beberapa sifat tadi, kita mungkin bisa sedikit mengerti kenapa Seorang Rasulullah yang ummi (tidak bisa membaca) mampu menjadi seorang Nabi, Rasul,Kepala Keluarga, Ayah, Suami, Imam Shalat, Pimpinan Umat, Pimpinan Perang menjadi sangat sukses dalam setiap hal yang beliau geluti. Semoga menjadi landasan bagi kita dan para pemimpin muslim untuk mampu meneladani apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
D. Kriteria dan batasan
maslahat
Kemaslahatan membawa
manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudharatan
bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut dengan maslahat perlu mendapat kriteria
dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan
sebagai satu “tempat lindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan
yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’,
untuk criteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai beikut.
1. kemaslahatan itu
harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-dalil kulli,
(general dari Al Qur’an dan As Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah
hukum Islam.
2. kemaslahatan itu
harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hinga
tidak meragukan lagi.
3. kemaslahatan itu
harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan
sebagian masyarakat kecil.
4. kemaslahatan itu
memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat
dilaksanakan.[3]
E.
Contoh kasus:
a.
Imam wajib
menunjuk orang-orang yang amanah dan mengangkat orang-orang yang layak dengan
tugas-tugas yang dibebankan, dan mengatur keuangan (negara) yang diserahkan
kepada mereka. Karena, dengan orang-orang yang kapabel, tugas-tugas bisa terkendali
dan dengan orang-orang yang amanah, uang (negara) bisa terjaga.
b.
Imam wajib
mengontrol sendiri kondisi (di bawah), sehingga ia bisa terjun mengurus
langsung kepentingan umat dan menjaga Agama (umat), tidak boleh pasrah begitu
saja kepada pejabat (bawahannya) sementara ia sendiri bersenang-senang atau
sibuk beribadah, karena orang yang amanah bisa berkhianat dan orang yang asal
loyal bisa tidak loyal.[4]
c.
Pembagian zakat
terhadap delapan golongan (asnaf tsamaniyah) oleh petugas ‘amil tidak boleh
dilebihkan yang satu di atas yang lain dalam kondisi yang sama atas
kepentingannya
d.
Penguasa atau
pemimpin tidak boleh mengankat orang fasiqmenjadi imam shalat, sekalipun sah
makmum dibelakannya, karena hanya makruh saja. Dalam hal seperti ini penguaha
harus benar – benar memperhatikan kemaslahatan. Kalau tidak, akan mendorong
orang gampang dan ringan memandang hal – hal yang makruh.
e.
Masih dalam
konteks contoh tersebut, pemerintah tidak boleh mengankat seseorang yang tidak
memiliki keahlian untuk suatu jabatan, sedang tenaga profesi yang diperlukan
untuk jabatan itu ada. Menetapkan orang yang bukan ahlinya pasti mengakibatkan
ketidak – suksesan dalam mewujudkan kemaslahatan atau kepentingan umum.
f.
Pemerintah
boleh menggusur perkampungan rakyat untuk kepentingan sarana umum dengan
memberikan ganti rugi yang memadai.
Pemimpin yang mengangkat pejabat
atau pegawai tidak berdasarkan skala integritas dan kapabilitas, misalnya tidak
mendahulukan yang lebih baik atas yang baik, atau tidak mengutamakan yang lebih
pintar atas yang pintar masuk dalam kelompok penipu dan pengkhianat. Imam
Thabarani meriwayatkan,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ …. وَ مَنْ تَوَلَّى مِنْ
أَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ شَيْئًا فَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً وَهُوَ يَعْلَمُ
أَنَّ فِيْهِمْ مَنْ هُوَ أَوْلَى بِذلِكَ وَأَعْلَمُ مِنْهُ بِكِتَابِ اللهِ
وَسُنَّةِ رَسُوْلِهِ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ.
“Dari Ibnu
‘Abbas, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: ….. dan barangsiapa menjadi
pemimpin urusan orang-orang Islam, lalu mengangkat seseorang (untuk suatu
jabatan), sedangkan pemimpin tersebut tahu bahwa di antara mereka terdapat
orang yang lebih layak untuk jabatan itu, dan lebih pintar dari orang yang
diangkat itu dalam hal Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah, maka pemimpin tersebut
telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Kewajiban pemimpin memilih pejabat
dan pegawai atas dasar integritas dan kapabilitas dimaksudkan agar tidak
terjadi salah kelola yang merugikan umat. Salah kelola terjadi adakalanya
akibat pengelola tidak paham persoalan karena tidak memiliki kapabilitas, dan
adakalanya akibat pengelola tidak menangani persoalan sesuai dengan yang
semestinya karena yang bersangkutan miskin integritas.
Problem umat, seperti kemiskinan,
kebodohan, kelaparan, dan kematian bila terjadi akibat salah kelola, maka
menjadi beban tanggung jawab pemimpin yang bersangkutan. Bahkan, Sayyidina Umar
yang integritas dan kapabilitasnya tidak diragukan lagi merasa akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah pada hari kiamat menyangkut persoalan
sekecil apapun. Beliau menyatakan sebagai berikut,
لَوْ هَلَكَ جَدْيٌ بِشَطِّ الْفُرَاتِ،
لَرَأَيْتُنِيْ مَسْئُوْلاً عَنْهُ أَمَامَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seandainya ada
seekor kambing mati di tepi sungai Efrat pasti aku merasa akan
dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah nanti pada hari kiamat.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki
sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain
untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama.menyatakan bahwa dalam menjadi
pemimpin di muka bumi maka manusia harus bisa menjalankan apa yang telah
diamanatkan oleh Allah dan di setiap langkah sebagai seorang pemimpin, Allah
akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati tentang
apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah di bumi.
Maslahat Menjadi syarat
utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau
pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan
hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi.
No comments:
Post a Comment