Pages

esok pasti ada tapi esok belum pasti

Monday, May 22, 2017

KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (KAEDAH FIQHIYYAH)



Makalah
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (KAEDAH FIQHIYYAH)

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan al-qawaid a- fiqihiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Beberapa kaidah yang bersifat individu diantaranya kaidah tentang niat (al umuuru biaqashidiha), al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqih siyasah.
Seperti yang diketahui bahwa fiqih siyasah adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila disederhanakan, fiqih siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional. Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.[1]
            Dalam analisis mengenai kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat). Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah munculnya kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin. Ketika kita memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu kebijakan
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana definisi kepemimpinan dalam islam ?
b.      Bagaimana konsep kaidah tasharruful imam ‘ala ra’iyyah manutun bi almaslahat ?
c.       Bagaimana kriteria dan batasan maslahat ?






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al maslahah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kaidah ini merupakan kaidah (fikih) yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
Lebih jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme musyawarah. Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah QS. As Syura ayat 38 yang berbunyi;
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
Sebuah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya asas tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; “sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.[2]
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. An-nisa ayat 58 yang berbunyi;
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ......                             
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Kebijakan pemimpin atas rakyat (nya) dikaitkan dengan kemaslahatan”.

Kaidah ini berarti bahwa, benar dan tidaknya kebijakan pemerintah dalam pandangan syari’at Islam bergantung pada maslahat atau tidaknya kebijakan itu pada rakyat, jika maslahat benar bagi rakyat maka benar, dan jika tidak maslahat maka tidak benar. Kebijakan itu dikaitkan dengan kemaslahatan, karena pemimpin bekerja tidak untuk dirinya, melainkan sebagai wakil dari rakyat. Imam Syafi’i mengungkapkan,
مَنْزِلَةُ اْلإِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ مَنْزِلَةُ اْلوَلِيِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
“Posisi pemimpin dari rakyatnya sama dengan posisi pengasuh anak yatim dari anak yatim asuhannya.”
Kaidah di atas mengacu kepada ungkapan Sayyidina Umar yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur di dalam kitab Sunan-nya dari al-Barra’ bin ‘Azib,
إنِّي أَنْزَلَتْ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِيِّ الْيَتِيمِ، إنِ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ بِالْمَعْرُوفِ، فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ، فَإِنِ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ
“Aku memosisikan diriku dari harta Allah (harta publik) seperti posisi pengasuh anak yatim (dari harta anak yatim), kalau aku butuh maka aku mengambilnya dengan cara yang baik, kemudian bila aku mampu aku mengembalikannya, dan jika aku tidak butuh maka aku menahan diri (dari mengambilnya).”
Secara umum sesunguhnya kaidah ini sudah termasuk dalam kandungan Hadist Nabi SAW :
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيت         
“Masing-masing  dari kamu  adalah penggembala, dan tiap-tiap penggembala  dimintai pertanggung  jawaban  atas  penggembalaannya”.
Lapangan pelaksana kaidah ini adalah dalam bidang – bidang yang menyangkut bidang pemerintahdan kebijaksanaan dalam hubungannya dengan rakyat, sehingga memberikan pengertian bahwa setiap tindakan atau kebijaksanaan yang menyangkut dan mengenai hak – hak rakyat harus dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditunjukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. Dengan demikian tindakan penguasa yang hanya sekedar menuruti hawa nafsu serta kesenangan sendiri dan tidak membawa kebaikan pada rakyat adalah tidak dibenarkan.
Imam yang dimaksud di atas bukan hanya pemimpin tertinggi seperti khalifah dan presiden, tapi mencakup semua orang yang memiliki otoritas, misalnya gubernur, bupati, anggota DPR, dan sebagainya. Mereka semua adalah pemegang amanat dari rakyat, maka harus bekerja demi kemaslahatan rakyat.
Kemaslahatan dalam bahasa Indonesia searti dengan kebaikan, kemanfaatan dan kepentingan. Ulama ushul fiqh membagi kemaslahatan ke dalam tiga bagian, yaitu:
1.      Mashlahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang diapresiasi dan diperhatikan oleh syari’(pembuat syari’at, Allah swt.). Bukti bahwa suatu kemaslahatan itu diapresiasi dan diperhatikan syari’ adalah adanya ketentuan hukum syar’i di dalam Al-qur’an dan/ al-Sunnah yang berorientasi mewujudkan kemaslahatan dimaksud, seperti diwajibkannya shalat lima waktu, dianjurkannya shalat-shalat sunnah, diharamkannya perzinahan, pencurian, dan miras.
2.      Mashlahah Mulghah, yakni kemaslahatan yang diabaikan dan tidak dipergunakan olehsyari’. Bukti bahwa suatu kemaslahatan diabaikan oleh syari’ ialah adanya aturan syar’i di dalam Al-qur’an dan/ al-Sunnah yang bertolak belakang dengan apa yang dianggap maslahat itu. Dengan kata lain, mashlahah mulghah adalah kemaslahatan yang bertentangan dengan syari’at, seperti berpakaian rok mini–yang menurut sebagian orang perempuan dianggap sebagai kemaslahatan estetis– bertentangan dengan aturan syari’at yang mewajibkan perempuan menutup seluruh tubuhnya, selain wajah dan telapak tangan.
3.      Mashlahah Mursalah, yakni kemaslahatan yang lepas dari sorotan dalil, dalam arti tidak ada dalil yang secara langsung dan spesifik dijadikan dasar bahwa mashlahah dimaksud diperhatikan atau diabaikan, seperti dikumpulkannya Al-qur’an dalam satu mushaf, pengadaan rumah sakit dan lembaga kemasyarakatan, pemberian gaji yang cukup, dan sebagainya.
            Kemaslahatan yang harus dijadikan pijakan pemimpin dalam membuat kebijakan adalah mashlahah mu’tabarah dan mashlahah mursalah, sedangkan mashlahah mulghah tidak boleh dijadikan pijakan karena telah dikesampingkan oleh syari’. Kebijakan pemimpin di sini menyangkut dua hal pokok yang memang menjadi tugas pokok pemimpin sebagai pelanjut misi kenabian, yakni menjaga Agama dan mengatur dunia. Akan tetapi, berhubung syari’ tidak banyak menangani langsung persoalan teknis, maka persoalan  siyasah (kebijakan politik) lebih banyak mengacu kepada mashlahah mursalah dari pada mashlahah mu’tabarah. Maka, yang penting bagi pemimpin ialah bagaimana kebijakannya tidak bertabrakan dengan aturan syari’at, meski tidak jelas-jelas diambil dari sumber hukum syar’iy, Al-qur’an dan al-Sunnah. Ibnu ‘Aqil al-Hanbaliy menjelaskan arti siyasah dengan definisi sebagai berikut:
السِّيَاسَةُ مَا كَانَ فِعْلًا يَكُونُ مَعَهُ النَّاسُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ ، وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يَضَعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ
“Siyasah adalah setiap aktifitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan jauh dari kerusakan, meskipun tidak ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan tidak didasarkan pada wahyu.”

B.     Kriteria Pemimpin

Adapun kriteria pemimpin itu sendiri, yakni:
a. Pemimpin yang mukmin.
b. Tegas dalam menjalankan perintah Tuhan.
c. Takut kepada Allah swt sewaktu mengurusi orang-orang yang dipimpinnya.
d. Tidak menzalimi siapapun.
e. Tidak memerkosa hak-hak orang lain.
f. Menegakkan dan bukan melecehkan hudud Allah swt.
g. Membahagiakan rakyatnya dengan mengharap rida Allah swt.
h. Orang kuat di sisinya menjadi lemah sehingga si lemah dapat mengambil kembali haknya yang direbut si kuat.
i. Orang lemah di sisinya menjadi kuat sehingga haknya dapat terlindungi.
j. Menampakkan kepatuhan kepada Allah swt dalam menetapkan kebijakan yang
berhubungan dengan hajat hidup orang banyak sehingga dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya merasa bahagia.
k. Semua orang hidup aman dan tenteram.
l. Sangat mencintai manusia, begitu pula sebaliknya.
m. selalu mendoakan manusia, begitu pula sebaliknya.
Kriteria di atas menjadi indikator bagi pemimpin yang terbaik dan termulia di sisi Allah SWT dan manusia.

C.       Kepemimpinan Dalam Islam

Dalam ajaran agam Islam, hadits nabi menyebutkan bahwa setiap manusia adalah seorang pemimpin, apakah ia sebagai kepala keluarga, sebagai imam suatu umat, seorang wanita yang kedudukannya sebagai ibu rumah tangga dan bahkan seorang pembantu sekalipun ia adalah seorang pemimpin.
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang berbunyi :Artinya : Abu Nu’man menceritakan hadits kepada kami, Hammad ibnu Zaid menceritakan hadits kepada kami dari Ayyub, dari Nafi’, dari Abdillah berkata: Rasulullah SAW. Bersabda “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban.
Berbicara tentang kepemimpinan dalam pandangan agama Islam, maka kita akan merujuk terhadap pribadi dan pola kepemimpinan yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW. yang lebih dikenal dengan istilah uswatun khasanah yang artinya teladan yang mulia atau baik. Keteladanan nabi muhammad SAW.
Beliau dengan sangat teliti dan hati-hati mencontohkan semua perbuatan baik dan menjauhkan diri dari melakukan perbuatan buruk dengan sangat teliti dan jelas.
Sesungguhnya banyak hal yang bisa dijabarkan dari sifat Rasulullah SAW namun semoga 4 sifat teladan ini sungguh menjelaskan betapa sifat kepempimpinan beliau mengakar kepada kita walau beliau telah wafat beberapa abad yang lalu, sifat kepemimpinan beliau disegani kawan dan dihormati lawan sekalipun.
1. Shiddiq (Jujur). Ini adalah sifat kejujuran yang sangat ditekankan Rasul baik kepada dirinya maupun pada para sahabat-sahabatnya (Semoga kita juga meneladaninya).Adalah ciri seorang muslim untuk jujur. Sehingga Islam bukan saja menjadi sebuah agama namun juga peradaban besar.
2.Amanah(bisa dipercaya). Sifat ini ditanamkan khususnya kepada para sahabat yang ditugaskan di semua hal apa saja untuk bisa berbuat amanah, tidak curang (atau juga korupsi di zaman sekarang) dalam hal apa saja. Sesuatu yang sekarnag menjadi sangat langka di negeri muslim sekalipun (miris).
3. Tabligh (Menyampaikan yang benar). Ini adalah sebuah sifat Rasul untuk tidak menyembunyikan informasi yang benar apalagi untuk kepentingan umat dan agama. Tidak pernah sekalipun beliau menyimpan informasi berharga hanya untuk dirinya sendiri. Subhanallah.
4. Fathonah (Cerdas).Sifat Pemimpin adalah cerdas dan mengetahui dengan jelas apa akar permasalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambbil untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat. Dengan mengenal beberapa sifat tadi, kita mungkin bisa sedikit mengerti kenapa Seorang Rasulullah yang ummi (tidak bisa membaca) mampu menjadi seorang Nabi, Rasul,Kepala Keluarga, Ayah, Suami, Imam Shalat, Pimpinan Umat, Pimpinan Perang menjadi sangat sukses dalam setiap hal yang beliau geluti. Semoga menjadi landasan bagi kita dan para pemimpin muslim untuk mampu meneladani apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
D.    Kriteria dan batasan maslahat
Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudharatan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut dengan maslahat perlu mendapat kriteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat lindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’, untuk criteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai beikut.
1. kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-dalil kulli, (general dari Al Qur’an dan As Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hinga tidak meragukan lagi.
3. kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.
4. kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.[3]
E.     Contoh kasus:
a.       Imam wajib menunjuk orang-orang yang amanah dan mengangkat orang-orang yang layak dengan tugas-tugas yang dibebankan, dan mengatur keuangan (negara) yang diserahkan kepada mereka. Karena, dengan orang-orang yang kapabel, tugas-tugas bisa terkendali dan dengan orang-orang yang amanah, uang (negara) bisa terjaga.
b.      Imam wajib mengontrol sendiri kondisi (di bawah), sehingga ia bisa terjun mengurus langsung kepentingan umat dan menjaga Agama (umat), tidak boleh pasrah begitu saja kepada pejabat (bawahannya) sementara ia sendiri bersenang-senang atau sibuk beribadah, karena orang yang amanah bisa berkhianat dan orang yang asal loyal bisa tidak loyal.[4]
c.       Pembagian zakat terhadap delapan golongan (asnaf tsamaniyah) oleh petugas ‘amil tidak boleh dilebihkan yang satu di atas yang lain dalam kondisi yang sama atas kepentingannya
d.      Penguasa atau pemimpin tidak boleh mengankat orang fasiqmenjadi imam shalat, sekalipun sah makmum dibelakannya, karena hanya makruh saja. Dalam hal seperti ini penguaha harus benar – benar memperhatikan kemaslahatan. Kalau tidak, akan mendorong orang gampang dan ringan memandang hal – hal yang makruh.
e.       Masih dalam konteks contoh tersebut, pemerintah tidak boleh mengankat seseorang yang tidak memiliki keahlian untuk suatu jabatan, sedang tenaga profesi yang diperlukan untuk jabatan itu ada. Menetapkan orang yang bukan ahlinya pasti mengakibatkan ketidak – suksesan dalam mewujudkan kemaslahatan atau kepentingan umum.
f.       Pemerintah boleh menggusur perkampungan rakyat untuk kepentingan sarana umum dengan memberikan ganti rugi yang memadai.
            Pemimpin yang mengangkat pejabat atau pegawai tidak berdasarkan skala integritas dan kapabilitas, misalnya tidak mendahulukan yang lebih baik atas yang baik, atau tidak mengutamakan yang lebih pintar atas yang pintar masuk dalam kelompok penipu dan pengkhianat. Imam Thabarani meriwayatkan,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ …. وَ مَنْ تَوَلَّى مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ شَيْئًا فَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّ فِيْهِمْ مَنْ هُوَ أَوْلَى بِذلِكَ وَأَعْلَمُ مِنْهُ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِهِ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ.
“Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: ….. dan barangsiapa menjadi pemimpin urusan orang-orang Islam, lalu mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan), sedangkan pemimpin tersebut tahu bahwa di antara mereka terdapat orang yang lebih layak untuk jabatan itu, dan lebih pintar dari orang yang diangkat itu dalam hal Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah, maka pemimpin tersebut telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
            Kewajiban pemimpin memilih pejabat dan pegawai atas dasar integritas dan kapabilitas dimaksudkan agar tidak terjadi salah kelola yang merugikan umat. Salah kelola terjadi adakalanya akibat pengelola tidak paham persoalan karena tidak memiliki kapabilitas, dan adakalanya akibat pengelola tidak menangani persoalan sesuai dengan yang semestinya karena yang bersangkutan miskin integritas.
            Problem umat, seperti kemiskinan, kebodohan, kelaparan, dan kematian bila terjadi akibat salah kelola, maka menjadi beban tanggung jawab pemimpin yang bersangkutan. Bahkan, Sayyidina Umar yang integritas dan kapabilitasnya tidak diragukan lagi merasa akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah pada hari kiamat menyangkut persoalan sekecil apapun. Beliau menyatakan sebagai berikut,
لَوْ هَلَكَ جَدْيٌ بِشَطِّ الْفُرَاتِ، لَرَأَيْتُنِيْ مَسْئُوْلاً عَنْهُ أَمَامَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seandainya ada seekor kambing mati di tepi sungai Efrat pasti aku merasa akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah nanti pada hari kiamat.”



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama.menyatakan bahwa dalam menjadi pemimpin di muka bumi maka manusia harus bisa menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh Allah dan di setiap langkah sebagai seorang pemimpin, Allah akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati tentang apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah di bumi.
Maslahat Menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi.

           









[1] H.A. jazuli. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group, hal; 147
[2] H.A. jazuli. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis
[3] Al Jazuli.. Fiqih siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media, 2003, hal; 53
[4] Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (al-Maktabah as-Syamila), hal. 16.

No comments:

Post a Comment