Pages

esok pasti ada tapi esok belum pasti

Sunday, March 12, 2017

MAKALAH EKONOMI ISLAM RAHN (TAFSIR AYAT DAN HADITS EKONOMI ISLAM)



MAKALAH EKONOMI ISLAM
RAHN 
(TAFSIR AYAT DAN HADITS EKONOMI ISLAM)
 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Islam telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup saling tolong-menolong dengan berdasar pada rasa tanggung jawab bersama, jamin-menjamin, dan tanggung-menanggung dalam hidup bermasarakat. Salah satu contoh ajaran islam adalah hak milik kebendaan yang ditegaskan berfungsi sosial. Hak milik perorangan dalam ajaran Islam tidaklah bersifat mutlak, tetapi terkait dengan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, pemilik benda tidak sepenuhnya bebas memperlakukan harta benda miliknya. Dalam mengembangkan harta benda, Islam melarang caradan tindakan yang mengandung unsur-unsur penindasan, pemerasan, atau penganiayaan terhadap orang lain. Begitu juga halnya dengan memberikan pinjaman uang yang amat membutuhkan, tetapi dengan dibebani kewajiban tambahan dalam pembayarannya kembali sebagai timbangan jangka waktu yang telah diberikan amatlah memberatkan pihak peminjam.[1]
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283 telah dijelaskan bahwa gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah di mana sikap tolong-menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam sebuah hadist dari Rasullulah SAW dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di sana nampak sekali sikap tolong-menolong antara Rasullulah SAW dengan orng yahudi pada saat Rasul menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi tersebut.[2]
Berdasarkan pemaparan di atas maka pada hakikatnya fungsi gadai adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dalam bentuk barang yang digadaikan sebagai jaminan, bukan karena semata-mata untuk kepentingan komersial dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.



1.2  Rumusan Masalah
Bagaimana Tafsir Ayat Al-Qur’an tentang Rahn?
Bagimana Kandungan Ayat Al-Qur’an tentang Rahn?
Bagaimana Tafsir dan Kandungan Hadist tentang Rahn?
1.3 Tujuan
Mengetahui Tafsir Ayat Al-Qur’an tentang Rahn
Menganalisis Kandungan Ayat Al-Qur’an tentang Rahn
Mengetahui Tafsir dan Kandungan Hadist tentang Rahn



















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ayat Al-Qur’an tentang Rahn
·         Q.S Al-Baqarah ayat 282
 


















Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
·         Q.S Al-Baqarah ayat 283
 





Artinya :
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kaitan dengan Ayat Sebelumnya
Ayat 282 yang lalu memberikan bimbingan tentang etika utang piutang seperti (1) tercatat, (2) ada saksi, (3) jangka waktu yang ditetapkan, (4) bagaimana pula jika terjadi perselisihan antara kedua belah fihak. Ayat 283 ini memberikan bimbingan bagaimana transaksi atau utang piutang dilakukan di perjalanan, tidak ada saksi, tidak pula tersedia fasilitas tulis menulis.
2.2 Tafsir Ayat Al-Qur’an tentang Rahn
Tafsir Q.S Al-Baqarah ayat 283
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ
“Jika kamu dalam perjalanan”.
Yakni, sedang melakukan perjalanan dan terjadi hutang-piutang sampai batas waktu tertentu

وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا
“Sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis “.
Yaitu seorang penulis yang menuliskan transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan penulis, tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena”.

فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman”.
Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.
Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama. Dan ulama yang lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu harus berada ditangan orang yang memberikan gadai. Ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad. Sekelompok ulama lain juga berpendapat demikian.
Sebagian ulama salaf juga menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa barang jaminan itu hanya disyariatkan dalam transaksi di perjalanan saja. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid dan ulama lainnya.



فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya [hutangnya].”
Diwayatkan Ibnu AbiHatim dengan isnad jayid, dari Abu Sa’id al-Khudri, ia telah mengatakan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh ayat sebelumnya.
Imam asy-Sya’bi mengatakan, “Jika sebagian kamu saling mempercayai sebagian lainnya, maka tidak ada dosa bagimu untuk tidak menulis dan tidak mengambil kesaksian.

وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
“Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya.”
maksudnya (adalah), orang yang dipercaya (untuk memegang jaminan, hendaklah bertakwa kepada Allah).

وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ
“Dan janganlah kamu [para saksi] menyembunyikan kesaksian.”
Maksudnya, janganlah kamu menyembunyikan, melebih-lebihkan, dan jangan pula mengabaikannya. Ibnu Abbas dan ulama lainnya mengatakan, “Kesaksian palsu merupakan salah satu dosa besar yang paling besar, demikian juga menyembunyikannya.”

وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ
“Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.”
As-Suddi mengatakan, “Yaitu orang yang jahat hati-Nya.”

وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Dan Allah Maha-mengetahui apa yang kamu kerjakan”

2.3 Kandungan Ayat (Q.S Al-Baqarah ayat 283) tentang Rahn
Dari Penjelasan Tafsir Q.S Al-baqarah ayat 283, dapat disimpulkan kandungan dari ayat tersebut adalah :
·         Bolehnya memberi barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman, atau dengan kata lain menggadai, walau dalam ayat ini dikaitkan dengan perjalan, tetapi itu bukan berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan. Nabi saw. pernah menggadaikan perisai beliau kepada seorang yahudi, padahal ketika itu beliau berada di Madinah. Dengan demikian penyebutan kata dalam perjalanan, hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam perjalanan.[3]
·         Jika kebetulan  orang yang melakukan utang-piutang itu saling mempercayai, maka hendaklah orang yang dipercayai itu melaksanakan amanatnya dengan sempurna pada waktu yang telah ditentukan. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan jangan pernah sampai mengkhianati amanatnya.[4]
·         Disini jaminan bukanlah berbentuk tulisan atau saksi, tetapi melainkan kepercayaan dan amanah timbal-balik. Hutang ditetima oleh penghutang, dan barang jaminan diberikan kepada pemberi hutang.
·         Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan terpelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali, maka ia akan menerimanya utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerimanya pun menerima atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi/penitip tidak akan meminta melebihi dari apa yang diberikan atau dari kesepakatan kedua belah pihak. Karena itu lanjutan ayat itu mengingatkan agar, dan hendaklah ia, yakni yang menerima atau memberi, bertakwa kepada Allah Tuhan Pemelihara-nya.[5]
·         Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikil amanah kesaksian, diingatkan janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahui oleh-nya. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hati-nya.
·         Tuhan menyandarkan beberapa pekerjaan tertentu kepada hati, sebagaiman Dia menyandarkan beberapa pekerjaan kepada pendengaran dan penglihatan. Di antara dosa-dosa jiwa adalah buruk kasad (niat buruk) dan dengki. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia disiksa karena tidak mau mengerjakan yang ma’ruf, dan mengerjakan yang munkar. Tujuan menulis surat perjanjian dan menghadirkan saksi untuk memperkuat kepercayaan antara si pemberi utang dan si pengutang. Secara hukum surat perjanjian lebih kuat daripada kesaksian. Pemberi utang, yang berutang, dan saksi berpegang pada surat perjanjian.[6]

2.4 Hadist tentang Rahn
Al-Sya’fiy mengatakan:
الْبُيُوع ثَلاثَة  بَيْع شُهُود وَكِتاب وَبَيْع بِرِهَان مَقْبُوْضَة وَبَيْع بِالاَمَانة وَقَرأ آيَة الدَّيْن
Bertransaksi perniagaan bisa dengan tiga hal (1) mengguanakn saksi dan bukti tertulis, (2) utang piutang dengan jaminan atau pergadaian, (3) melalui kepercayaan atau salaing mepercayai. Kemudian beliau membaca ayat tentang utang piutang (Q.S Al-Baqarah ayat 282-283).
Namun yang punya utang mesti dapat dipercaya, jangan sampai berkhianat. Memperlambat bayar utang, padahal telah mampu membayarnya, merupakan perbuatan zhalim. Rasul SAW bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ
Orang yang mampu, menangguhkan bayar utang merupakan kezhaliman. Jika di antaramu diserahi orang yang mampu, maka terimalah. Hr. al-Bukhari dan Muslim.
Hadits ini mengisyaratkan bahwa (1) memperlambat bayar utang, padahal sudah punya untuk membayarnya, sama dengan berbuat zhalim, (2)  jika yang punya utang melimpahkan tanggung jawabnya kepada yang mampu, boleh saja diterima.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Barangsiapa yang meminjam harta orang lain, kemudian berusaha ingin membayarnya, Allah akan memberikan kemudahan untuk membayarnya. Barangsiapa yang meminjamnya untuk merusaknya, maka Allah akan merusaknya. HR.Al-Bukhari.
Berdasar hadits ini orang yang meminjam sesuatu pada orang lain dan tidak bermaksud membayarnya, maka akan menderita kesulitan untuk membayarnya. Sebaliknya orang yang berkeinginan keras untuk membayar utang, Allah akan memberikan kemudahan. Jika sampai akhir hayat belum dibayar, maka akan menjadi beban berkepanjangan. Rasul SAW bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mu`min terikat dengan utangnya hingga dibayar. Hr. al-Syafi’iy, al-Turmudzi.
Rasul SAW enggan melakukan shalat jenazah yang meninggalkan utang, sehingga ada yang menanggungnya untuk membayar.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ
Dari Abi hurairah diriwayatkan bahwa dihadapkan kepada Rasul SAW seseorang yang wafat meninggalkan utang. Beliau bertanya kepada keluarganya apakah al-marhum meninggalkan harta untuk membayar utang? Jika dikatakan bahwa al-marhum punya harta untuk membayarnya, maka  beliau   langsung menyolatinya. Jika ternyata al-marhum tidak punya harta untuk membayar utangnya, maka Rasul bersabda: Shalatlah kailan untuk shahabat kalian! Namun tatkala Allah SWT memberikan kemenangan di berbagai peperangan, Rasul bersabda aku adalah wali bagi orang mu`min. Barangsiapa yang mempunyai utang aku membayarkannya. Barang siapa yang meninggalkan harta, maka untuk ahli wrisnya. HR.Al-Bukhari dan Muslim.
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasul enggan melakukan shalat jenazah al-marhum yang meninggalkan utang. Orang yang punya utang, shalat jenazahnya diserahkan kepada shahabat. Ketika telah berhasil  meraih kemenangan, utang al-Marhum dibayar terlebih dahulu oleh harta yang telah terkumpul di tangan Rasul SAW. Hal ini menunjukkan betapa penting membayar utang sebelum menghadapi kematian. Harta warisan pun, sebagaimana dikemukan dalam surat al-nisa: 11-12, baru bisa dibagikan apabila telah terpenuhi membayar utang.
Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Anas r.a berkata: “Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahaudi dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.” (HR Bukhari, Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah).

“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.”( HR al-Syafi’i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biaya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan.”( HR  Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah berkata: “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian (atau biaya).” (H.R Syafi’i dan Daruqutni). 

2.5 Beberapa Pembelajaran yang Dapat Diambil[7]
1. Setiap transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun jika tidak memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang menjadi saksi. Jika ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan adanya jaminan.
2. Prisnsip mu’amalat adalah saling percaya dan menjaga kepercayaan semua fihak. Untuk menghilangkan keraguan maka hendakla diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan. Namun kalau semuanya saling mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan aslakan tetap menjaga amanah.
3. Orang yang mengetahui fakta kebenaran mesti bersedia menjadi saksi. Bersaksi dalam kebenaran, merupkan ibadah. Sebaliknya yang menyembunyikan kesaksian, terancam siksa. Sedangkan bersaksi palsu termasuk dosa besar.
4. Taqwa mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu dalam jual beli, utang piutang, atau mu’amalat lainnya mesti didasari taqwa. Taqwa juga mesti dimanifestasikan dalam menjaga amanah, kepercayaan, kejujuran dan menjauhi hal-hal yang merugikan fihak manapun.
5. Allah SWT maha mengetahui segalanya. Oleh karena itu setiap insan mesti tetap menjaga kejujuran, menegakkan kebenaran, menampakkan fakta sebenarnya bila diminta persaksian. Orang yang menyembunyikan kesaksian akan diungkap kesalahannya oleh yang Maha Mengetahui.

           












BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang rahn (gadai) adalah Q.S Al-Baqarah ayat 283 yang mempunyai kandungan dibolehkannya memberi barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman, atau dengan kata lain menggadai, walau dalam ayat ini dikaitkan dengan perjalan, tetapi itu bukan berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan, orang yang melakukan utang-piutang harus saling mempercayai, jaminan bukanlah berbentuk tulisan atau saksi, tetapi melainkan kepercayaan dan amanah timbal-balik karena itu lanjutan ayat itu mengingatkan agar, dan hendaklah ia, yakni yang menerima atau memberi, bertakwa kepada Allah Tuhan Pemelihara-nya.













DAFTAR PUSTAKA

Blog Ekonomi Islam_ Gadai _Tafsir Ayat-ayat Al-Quran_
Blog Saifuddin ASM_al-baqarah_283 (PERSAKSIAN DAN JAMINAN DALAM UTANG PIUTANG)
Hasbi Ash-Shiddieqi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. 506
Muhamad Sholikul Hadi. Jakarta : Pegadaian Syari’ah. Salemba Diniyah. 2003. 63.
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. 2000. 570.Tengku Muhamad
Hasbi Ash-Shiddieqi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur.Semarang.PT.Pustaka Rizki Putra 2000.505
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. 571



[1] Blog Ekonomi Islam_ Gadai _Tafsir Ayat-ayat Al-Quran_ diakses pada 28 November 2015 pukul 13.42
[2] Muhamad Sholikul Hadi. Pegadaian Syari’ah. Jakarta: Salemba Diniyah. 2003. 63.
[3] Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. 2000. 570.
[4] Tengku Muhamad Hasbi Ash-Shiddieqi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur.Semarang.PT.Pustaka Rizki Putra 2000.505                         
[5]   Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. 571.
[6]  Hasbi Ash-Shiddieqi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. 506.
[7] Blog Saifuddin ASM_al-baqarah_283 (PERSAKSIAN DAN JAMINAN DALAM UTANG PIUTANG) diakses pada 28 November 2015 pukul 13.57

No comments:

Post a Comment